Sejarah Flu Spanyol di Yogyakarta, Wabah Mematikan yang Merenggut Banyak Korban
Perawatan pasien flu Spanyol (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Bagikan:

MEDAN - Boleh jadi tidak ada literatur pasti yang menyebut spesifik berapa korban flu Spanyol di Yogyakarta. Tapi, melihat dampak flu Spanyol di Yogyakarta, jumlahnya cukup besar.

Pelayanan kesehatan yang tak merata jadi penyababnya. Apalagi saat itu banyak dokter Eropa enggan bersentuhan dengan pasien bumiputra. Akibatnya korban banyak berjatuhan.

Dampak Flu Spanyol di Yogyakarta: Kekurangan Beras

“Adanya wabah penyakit yang sangat mengerikan itu berakibat pula di Daerah Kasultanan Yogyakarta ini mengalami kekurangan beras, sehingga perlu mendatangkan beras dari luar, yang selanjutnya dibagi-bagi kepada penduduk."

"Pelaksanaan pembagian beras itu mengambil tempat di Masjid Besar Yogyakarta, sehingga beras pembagian tadi terkenal dengan istilah beras masjid,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta (1977).

“Memang pada saat itu di muka masjid tersebut ada tempat menyimpan beras yang akan dibagikan kepada penduduk. Dengan adanya pembagian beras itu benar-benar rakyat dapat menikmati makan nasi yang pada waktu itu sangat sulit dicari. Untuk masyarakat Yogyakarta masa itu terkenal sekali dengan istilah jaman kabluk (Jawa).”

Sebagai inisiatif melakukan perlawanan terhadap wabah, pihak Kesultanan Yogyakarta tak luput melakukan ritual khusus yang dipercaya dapat menangkal penyebaran Flu Spanyol. Ritual pengusiran dilakukan dengan mengarak benda pusaka keratin mengelilingi kota Jogyakarta.

Satu pusaka yang diperlakukan paling mewah kala itu adalah Panji Kyai Tunggul Wulung. Bendera Kyai Tunggul Wulung merupakan salah satu pusaka Kraton Yogyakarta yang dianggap paling suci.

Bendara itu diaykini dibuat dari kain yang digantung di seputar makam Nabi Muhammad SAW. Di ujungnya, terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kyai Slamet. Pun arak-arakan diyakini oleh rakyat Yogyakarta dapat membuat laju penularan Flu Spanyol berhenti.

“Kali sebelumnya kedua pusaka itu diarak adalah ketika wabah influenza menyerang pada 1918 dan keyakinan umum adalah bahwa wabah itu berhenti karena pengarakan pusaka-pusaka tersebut. Sebelumnya, Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet diarak pada 1892 dan 1876, juga ketika wabah menyerbu kota,” tutup Merle Calvin Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa (2013).

 

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Sore Sakit Pagi Mati, Pagi Sakit Sore Mati: Mematikannya Flu Spanyol di Yogyakarta

Selain sejarah flu spanyol di Yogyakarta, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!