MEDAN - Profesi sebagai juru tagih utang (debt collector) adalah salah satu yang memiliki sejarah panjang. Ragam kelompok etnis kerap bertikai. Etnis Maluku jadi yang paling menonjol. Kiprah mereka tak lepas dari riwayat persaingan John Kei dan Basri Sangaji.
Keduanya bukan yang pertama. Tapi nama besar otak klan dari Pulau Kei dan Haruku itu melanggengkan imej debt collector menjadi milik jong Maluku, terutama di Ibu Kota. Dan kehadiran etnis Maluku di Jakarta telah hadir sejak zaman penjajahan Belanda.
BACA JUGA:
Kelompok Etnis Maluku Dibawa Belanda dan Diberi Hak Istimewa
Kelompok etnis ini dibawa pemerintah kolonial Belanda yang membutuhkan banyak tenaga untuk membangun Batavia (Jakarta). Di Batavia, orang Maluku mendapat hak istimewa, terutama yang beragama Kristen. Hak istimewa itu berupa pemberian pekerjaan serta tanah.
Bahkan kita mengenal satu kampung yang namanya diambil dari etnis di Maluku: Kampung Ambon. Kedekatan agama antara orang Belanda dan Maluku menjadikan Batavia sebagai rumah kedua orang dari kawasan bernama Negeri Seribu Pulau.
Mereka banyak mengisi pekerjaan vital untuk memutar roda ekonomi di Batavia. Tak hanya itu. Banyak di antara pemuda Maluku turut direkrut Belanda untuk jadi tentara pembela Belanda. Sebagai contoh, kala Belanda mulai mempersiapkan diri melawan Jepang pada 1940-an.
Kala itu orang-orang Maluku banyak direkrut sebagai pasukan tentara Belanda, Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). “Di beberapa tempat, misalnya Surabaya, Jakarta, Malang dan Makassar ada Kamp-Kamp Ambon (mereka adalah tentara-tentara KNIL Belanda dan keturunannya) jumlahnya saat ini diperkirakan mendekati lebih dari satu juta orang."
"Dari jumlah itu, di Jakarta diperkirakan sekitar kurang lebih 750.000 orang Kristen Ambon. Sebuah realisme yang menjanjikan banyak pemuda-pemuda Kristen Ambon, karena banyak di antaranya berkesempatan menjadi artis, olahragawan dan pelaut, juga sektor jasa debt collector,” ungkap John Pieris dalam buku Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban (2004).
Setelah Indonesia merdeka, jumlah orang Maluku di Jakarta makin meningkat. Pada masa itu profesi yang ditekuni orang Maluku --dari yang mulanya didominasi pekerja kasar di lumbung-lumbung ekonomi Jakarta seperti Tanjung Priok-- jadi lebih beragam.
Buah keberagaman profesi itu memunculkan kelompok-kelompok preman yang berasal dari orang Maluku. Kelompok preman itu terbentuk oleh proses-proses eksklusi dan migrasi. Salah satunya berkembang pesat karena konflik agama di Maluku pada 1999.
Konflik itu memelopori migrasi besar-besaran pemuda Maluku ke Ibu Kota Jakarta. “Kelompok dari timur Indonesia yang dikenal sebagai kelompok Ambon berkembang setelah terjadi konflik agama di Maluku pada 1999. Ketika itu, banyak orang Maluku hijrah ke Jakarta karena persoalan ekonomi."
"Di Ibu Kota, orang-orang dari Maluku tersebut bekerja mengamankan tempat hiburan ataupun perusahaan. Mereka tumbuh karena ada yang memakai jasanya,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Tubagus Ade Hidayat dikutip Hussein Abri Dongoran dkk dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Hujan Tinju Anak Baru (2020).
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Darah dan Karisma John Kei-Sangaji Membangun Bisnis Debt Collector
Selain Sejarah Orang Maluku di Jakarta, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!