Resensi Buku <i>Ngopi (di) Jakarta</i> Volume II – Sisi Lain Ibu Kota
Ilustrasi (Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Membahas Jakarta hari ini, tidaklah sama dengan membahas Jakarta sewaktu masih bernama Batavia. Yang mana, pada masa itu, para pujangga dari segala penjuru Eropa pernah terkagum-kagum dengan keindahan kota yang berjuluk Ratu dari Timur.

Sekarang, Jakarta sudah jauh berubah. Segala puja-puji enggan berpihak pada Jakarta lagi. Sederet masalah yang menahun seperti banjir, kemacetan, sampah, korupsi, dan penggangguran menjadi penyebab utamanya. Lantas, kota ini tak pernah masuk sebagai prioritas utama orang-orang dari pelosok negeri sebagai tempat menghabiskan masa tua.

Untuk itu, Sastrawan Goenawan Mohamad pun ikut berkomentar terkait Jakarta. Baginya, setelah berakhirnya kepemimpinan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin (1966–1977), Jakarta tak lagi cocok sebagai tempat merindukan masa lalu. Apalagi, mereka yang menghuni Jakarta saat ini agaknya terlalu sibuk dengan narasi kerja, kerja, dan kerja, sehingga tak sempat menikmati sekelilingnya.

“Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan masa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja membentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain, mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa diingat dari kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk dengan kini dan esok,” ucap Goenawan Mohamad.

Untungnya, sampai hari ini masih banyak orang-orang yang mencoba mengenalkan sisi lain dari Jakarta. Salah satunya terdapat nama Komunitas Ngojak. Jikalau sebelumnya pembaca telah diperkenalkan dengan segelumit masalah Jakarta lewat “Resensi Buku Ngopi (di) Jakarta – Melihat Ibu Kota dari Kacamata Kaum Urban. (https://voi.id/berita/9553/resensi-buku-i-ngopi-di-jakarta-i-melihat-ibu-kota-dari-kacamata-kaum-urban)” Kini Ngojak mengajak pembaca berkeliling Jakarta untuk menilik lebih dalam terkait harta karun Ibu Kota dalam buku Ngopi (di) Jakarta: Awal Mula Jakarta, Manusia, dan Sungai (2018).

Dalam buku ini, para pembaca dibuat lupa oleh persfektif umum yang menggambarkan sisi menarik Jakarta hanya Kota Tua atau Taman Prasasti Belaka. Padahal, banyak tempat maupun hal lain yang dimiliki oleh Jakarta dan tak dimiliki oleh kota-kota lainnya di Indonesia.

Maka dari itu, buku ini dapat mengubah cara pandang kita melihat Jakarta. Karena dengan belajar sejarah terkait sisi lain Jakarta, para pembaca akan semakin menikmati hidup di Jakarta dengan berani melihat lebih jauh kota yang pernah menjadi pusat perniagaan di Asia. Baik itu perihal tradisi Kampung Tugu, toleransi di Jakarta, Kota Taman pertama di Indonesia, hingga mengenang Weltevreden.

Tradisi Kampung Tugu

Selain orang Betawi, mereka mendiami Kota Jakarta ialah orang keturunan Portugis yang hidup di kawasan Semper Barat, Tugu, Jakarta Utara. Mereka umumnya dikenal dengan nama komunitas Tugu yang telah melahirkan kesenian Keroncong Tugu.

Meski begitu, tak cuma soal kesenian itu saja yang membuat mereka di kenal. Tercatat, sederet budaya menyambut tahun baru dari Kampung Tugu menarik untuk disimak. Salah satunya budaya Mandi-Mandi. Dalam Mandi-Mandi, budaya yang awali dengan santap bersama dan silahturahmi, sesepuh kemudian mulai berdiri dan menyiapkan sarana untuk Mandi-Mandi, yakni mangkuk berisi bedak basah dan bir sebagai minuman yang disuguhkan.

Barulah keseruan dimulai dengan mencoreng muka satu sama lain, sebagai simbol keinginan sesama Komunitas Tugu untuk saling mendoakan agar mereka memperoleh berkat tuhan, baik jasmani maupun rohani, murah rezeki, dan panjang umur. Saking populernya, tokoh Timur Leste, Xanana Gusmao pernah menghadiri tradisi ini pada 2016 lalu.

Toleransi agama di Jakarta

Salah satu pemandangan terbaik yang dapat disaksikan saat hidup di belantara Jakarta ialah perihal toleransi. Menariknya, wujud dari toleransi di Jakarta dapat tersaji dibanyak tempat. Bahkan, toleransi hadir di lingkungan Klenteng legendaris, Yayasan Bio Shia Jin Kong di Jatinegara.

Hal yang menarik saat Ngojak mengeksplorasi kawasan itu hadir dari penjaga klenteng sendiri. Sosok penjaga tersebut bernama Teddy. Uniknya, Teddy sendiri beragama islam. “Dua hari sebelum bapak wafat saya dipanggil. Bapak menyuruh saya untuk menggantikannya menjaga klenteng. Saya sempat ragu karena sekarang saya muslim. Tapi bapak menyakinkan saya. Soal keyakinan itu punya masing-masing, ini amanat leluhur katanya,” tertulis di halaman 69.

Lantas, perlahan-lahan Teddy menjadi kerasan. Teddy pun tetap menjalankan agamanya, sekaligus menjadi kuncen klenteng yang siap menjawab jikalau ada pertanyaan terkait seluk beluk klenteng hingga ragam doa apa saja yang harus diamanatkan kala berdoa kepada dewa di klenteng.

Kota Taman pertama di Jakarta

Kota taman yang dimaksud tak lain ialah Menteng. Julukan Kota Taman sendiri didapat oleh Menteng karena dalam kawasan elite itu terdapat dua puluh taman kecil yang tersebar diseluruh kawasan. Oleh sebab itu, mencari tahu terkait sejarah masa lalu Menteng, sudah tentu menjadi bagian yang menarik.

Karena itu, saat melangsungkan kunjungan ke Menteng, Ngojak mengajak khalayak umum untuk mengenal salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta yang juga warga Menteng sejak akhir tahun 1960-an, (Alm) Adolf Heuken SJ. Dari Adolf, diketahui bahwa kawasan Menteng dirancang oleh arsitek terbaik pada zamannya.

“Kawasan menteng dirancang oleh tim arsitek yang dipimpin oleh P.A.J Moojen dan F.J Kubatz di bawah perusahaan pengembang Belanda Boouwmaatschappij N.V. de Bouwploeg,” hadir di halaman 55.

Kantor pengembang ini dulunya bermarkas di Gedung Boplo, “Bangunan Milik Belanda yang Kini Menjelma Jadi Masjid Cut Meutia. (https://voi.id/memori/8970/gedung-boplo-bangunan-milik-belanda-yang-kini-menjelma-jadi-masjid-cut-meutia)” Uniknya, Ngojak pun mengunjungi dan menggali sejarah karya Moojen lainnya berbentuk “Memori Gedung Kunstkring sebagai Istana Seni di Zaman Hindia-Belanda.” (https://voi.id/memori/8982/memori-gedung-kunstkring-sebagai-istana-seni-di-zaman-hindia-belanda).”

Mengenang Weltevreden

Jikalau sekarang orang-orang telah dihebohkan dengan kalimat marketing “Aku ingin pindah ke Meikarta.” Maka dulu pun kondisi yang sama sempat digaungkan oleh Kompeni pada saat pusat kekuasaannya di Oud Batavia –kota Tua— kala kota tersebut mulai ditakuti oleh mewabahnya ragam penyakit.

Alhasil, saat tajuk kekuasaan dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels (1808–1811), pusat pemerintahan mulai dipindahkan ke kawasan Niew Batavia, Weltevreden, daerah sekitar Lapangan Banteng. Setali dnegan itu, warga Eropa kaya dan sangat kaya mulai mengikuti langkah Daendels dnegan membangun rumah di Weltevreden.

“Intinya segala kemewahan dan kenyamanan Batavia telah bergeser ke Weltevrenden. Andai saja dulu, Daendels memiliki kemahiran copywriting. Mungkin ia akan membuat iklan dengan suara anak kecil yang berkata: Aku ingin pindah ke Weltevreden.”

Kiranya, itulah yang tertuang dalam buku dengan total 138 halaman. selain pembahasan di atas. Banyak pula kawasan dan tempat bersejarah lainnya yang diteropong oleh Ngojak dalam buku ini. Mulai dari Condet, Cawang, Kramat Jati, Jatinegera, Cikini, Salemba dan lain sebagainya.

Kelak, dari cerita demi cerita yang disajikan, setidaknya menjadi bukti bahwa Jakarta tak melulu menjadi kota yang berisikan narasi negatif. Melainkan, Jakarta seperti yang pernah diucap oleh peneliti Australia, Lance Castle sebagai tempat “Tuhan membuat orang Indonesia.” Itulah mengapa Jakarta sering diidentikkan sebagai kota yang kejam, namun menyenangkan.

Detail

Judul Buku: Ngopi (di) Jakarta Volume II: Awal Mula Jakarta, Manusia, dan Sungai

Penulis: Komunitas Ngojak

Terbit Pertama Kali: 2018

Penerbit: Epigraf

Jumlah Halaman: 138