MUI Kerap jadi 'Polisi Agama', Gus Dur Pernah Melawan
Gus Dur alias Abdurrahman Wahid (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

MEDAN - Keberadaan Majelis Ulama Indonesia kerap mengundang kontroversi bahkan banyak dianggap sebagai 'polisi agama'. Hal tersebut mulai dirasakan sebagian besar ulama setelah Orde Baru di bawah kepepimpinan Soeharto lengser.

Pada masa itu, salah satu ulama yang paling keras melempar kritik pada MUI adalah Gus Dur. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yang juga Presiden RI ke-4 itu banyak mengecam fatwa MUI yang dianggapnya adalah hasil dari sempitnya berpikir.

Alasan Gus Dur Mengecam MUI

Kasus fatwa haram produk penyedab rasa Ajinomoto, misalnya. Gus Dur tak langsung mengamini fatwa MUI. Sebagai presiden, Gus Dur memilih jalan tengah. Ia memilih untuk menguji terlebih dahulu produk penyedap rasa tersebut.

Gus Dur segera memerintahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan pengujian dari produk penyedap rasa yang divonis haram oleh MUI. Hasilnya, kontaminasi lemak babi pada produk penyedap rasa tak ditemukan.

“Penelitian LIPI memberikan hasil negatif. Tidak ada lemak babi dalam proses dan produk Ajinomoto. Gus Dur mempercayai LIPI, tetapi demi menghindari keributan yang tidak perlu dan tidak diinginkan, ia membiarkan penyedap masakan itu ditarik. Ajinomoto baru boleh dijual lagi setelah MUI diyakinkan bahwa proses produksinya diubah, sehingga produk itu memperoleh sertifikat halal,” pungkas L. Wilardjo dalam buku Damai Bersama Gus Dur (2010).

Dalam kasus lain, Gus Dur turut mengecam fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama pada 2007. Menurutnya, Indonesia bukan suatu negara yang didasari oleh satu agama saja. Pun kemudian MUI bukan institusi yang yang berhak menentukan mana perihal yang benar atau salah.

Sekalipun sudah purna tugas dari kursi presiden, ia tetap berani mengecam MUI yang berpikiran sempit. Sebab, mengetahui kehidupan Indonesia yang majemuk adalah pengetahuan dasar bagi tiap rakyat di pelosok negeri. Karena itu, Gus Dur menyarankan MUI untuk menggunakan narasi Indonesia yang majemuk sebagai alat ukur.

“Menurutnya, pluralisme merupakan keharusan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Dengan fatwanya, MUI memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di Indonesia.”

“Ini berarti fatwa MUI membawa masalah baru dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI telah menyadarkan kita agar tidak mudah tertipu terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam itu,” ujar Budhy Munawar Rachman dalam buku Argumen Islam Untuk Pluralisme (2010).

Fatwa antipluralisme itu memakan banyak korban. MUI banyak memvonis aliran dalam label sesat. Hal itu membangkitkan amarah kelompok intoleran. Kritik Gus Dur jelas. Karena tiada kasus penyesatan tanpa 'restu' dari MUI. Gus Dur menyebut sikap MUI yang 'salah baca' terkait Indonesia yang majemuk menyebabkan reaksi berlebihan dari kaum muslimin sendiri.

Lantaran itu, kaum muslimin jadi terbakar amarahnya dan menyerang rumah-rumah ibadah suatu aliran yang dianggap sesat. Sebagaimana contoh yang dilakukan pada aliran Ahmadiyah. Fakta itu menegaskan bahwa MUI telah berjalan jauh dari rumusan ajaran Islam yang sebenarnya.

“Saking perhatiannya (kepada MUI) sampai-sampai sering menimbulkan kontroversi yang berani melawan arus, melalui pengalaman intelektual serta spiritualnya yang sulit dijangkau oleh orang awam. Tak tanggung-tanggung, peran, fungsi, posisi, hingga produk hukum yang difatwakan MUI beberapa kali menuai kritik dan evaluasi dari mendiang Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 itu, bahkan pada tahun 2007 Gus Dur diberitakan di beberapa media meminta MUl untuk dibubarkan,” tutup M. Zidni Nafi dalam buku Menjadi Islam, Menjadi Indonesia (2018).

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Gus Dur Kritik Keras MUI

Selain MUI, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!