Mau Halal atau Haram, Vaksin AstraZeneca Tetap Dipakai
Ilustrasi (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah telah mendistribusikan vaksin AstraZeneca ke tujuh provinsi, di tengah polemik soal halal atau haramnya vaksin COVID-19 asal Inggris tersebut.

Juru bicara vaksinasi dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyebut provinsi yang akan mendapatkan jatah vaksin asal Inggris ini berada di DKI Jakarta, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau.

"Vaksin AstraZeneca telah didistribusikan sejak Sabtu, 20 Maret kemarin," kata Nadia kepada VOI, Senin, 22 Maret.

Vaksin AstraZeneca menyasar pada kelompok prioritas vaksinasi tahap kedua, yakni para petugas pelayanan publik dan masyarakat lanjut usia (lansia). Per hari ini, provinsi yang telah menerima vaksin AstraZeneca adalah Jawa Timur dan Bali.

Nadia menjelaskan, alasan vaksin AstraZeneca disebar ke tujuh provinsi tersebut karena didasarkan pada pertimbangan daerah yang memiliki sektor pariwisata prioritas dan menggelar acara internasional.

"Ada permintaan untuk akselerasi vaksinasi seperti adanya rencana pembukaan pariwisata atau adanya event internasional," ujar Nadia.

 

Halal atau haram, tetap dipakai

Vaksin AstraZeneca disebar ketika tersandung polemik soal halal atau haramnya. Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh menyebut komposisi vaksin asal Inggris tersebut mengandung tripsin babi yang diharamkan umat Islam.

"Ketentuan hukumnya, yang pertama vaksin produk AstraZeneca hukumnya haram, karena tahapan produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi," kata Asrorun.

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, Vaksin COVID-19 jenis AstraZeneca sudah fix dinyatakan haram dalam ketentuan hukumnya. 

LPPOM MUI bahkan menyatakan dapat membuktikan vaksin tersebut jika dalam proses produksinya menggunakan tripsin yang berasal dari pankreas babi. Kesimpulan ini didapat setelah mengkaji seluruh dokumen vaksin asal Inggris tersebut.

Direktur LPPOM MUI Muti Arintawari menjelaskan, pihaknya telah melakukan dua langkah kajian. Pertama, kajian dossier. Kedua adalah kajian publikasi ilmiah. 

"Dossier merupakan dokumen yang berisi bahan lengkap terkait Vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca. Dossier tersebut didapatkan MUI setelah melakukan audit dokumen di BPOM," ujar Muti dalam keterangannya, Senin 22 Maret.

Namun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Hasan Mutawakkil menyebut bahwa vaksin COVID-19 merek AstraZeneca halal digunakan. Hal ini berbeda dengan fatwa MUI pusat yang menetapkan AStraZeneca haram.

"Bapak Presiden langsung mendengarkan apa pendapat dan respons dari para Romo, kyai, para pengasuh-pengasuh pondok pesantren, bahwa vaksin astrazeneca ini hukumnya halalan dan toyyiban," kata Hasan.

Namun, mau bagaimanapun juga, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan ketentuan vaksin COVID-19 yang bisa disuntikkan kepada masyarakat bukan terletak pada masalah kehalalannya, melainkan kebolehannya.

"Kalau masalah halal atau tidak halal, saya kira yang sekarang dipersoalkan seharusnya pada boleh atau tidak boleh, bukan pada halal atau tidak halal," kata Wapres Ma’ruf Amin.

Meskipun suatu vaksin COVID-19 mengandung unsur haram, lanjut Wapres, hal itu dapat dikesampingkan selama Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan vaksin tersebut boleh diberikan kepada masyarakat.

"Sebab halal atau tidak halal pun, MUI bilang boleh. Apalagi kalau itu memang halal, jadi lebih boleh. Jadi itu bukan problem menurut saya," tegasnya.