YOGYAKARTA - Madura, pulau dengan budaya yang kaya dan unik, menyimpan sejarah kelam yang tak bisa dipisahkan dari identitasnya yaitu carok. Lantas bagaimana sejarah carok mulanya terjadi?
Untuk memahami mengapa carok sulit dieradikasi, kita perlu menelusuri sejarah panjang tradisi ini dan menganalisis faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang masih relevan hingga saat ini.
Sejarah Carok di Pulau Madura
Menurut penelitian yang berjudul “Tradisi Carok di Madura (Perspektif etika)” dilansir dari Digilib UIN SUKA, carok adalah pertarungan akibat konflik yang menyentuh harga diri, melibatkan individu, kelompok, atau klan dengan menggunakan senjata.
Meskipun demikian, carok tidak memiliki aturan resmi karena dianggap kriminal dan melanggar hukum di Indonesia. Namun bagi masyarakat Madura, Carok kerap menjadi cara mempertahankan kehormatan dan menyelesaikan konflik serius.
Pada masa pemerintahan Cakraningrat, Jokotole, dan Panembahan Semolo di Madura, istilah Carok belum dikenal. Saat itu, konflik serupa lebih menyerupai duel kesatria dengan senjata seperti pedang atau keris.
Dalam bahasa Kawi Kuno, "Carok" berarti "perkelahian" dan biasanya melibatkan dua individu, dua keluarga besar, atau bahkan penduduk desa. Konflik ini sering terjadi di wilayah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Pemicu Carok beragam, termasuk persaingan kekuasaan, perselingkuhan, sengketa tanah, atau dendam turun-temurun.
Sebelum melanjutkan, baca juga artikel yang membahas Tari Saman: Sejarah dan Fakta
Menariknya, pada abad ke-12 M di era Kerajaan Madura di bawah Prabu Cakraningrat, abad ke-14 saat dipimpin Jokotole, hingga abad ke-17 di masa Panembahan Semolo, istilah Carok belum dikenal.
Muncul di Masa Zaman Penjajahan Belanda
Carok di Pulau Madura mulai dikenal pada masa penjajahan Belanda, sekitar abad ke-18 M. Keberanian melakukan perlawanan muncul setelah Pak Sakera, seorang tokoh perlawanan, ditangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur.
Mulanya, bentuk perlawanan ini dilakukan oleh masyarakat kecil terhadap para penindas, menggunakan celurit sebagai senjata.
Namun, keberanian tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk memecah belah masyarakat. Mereka memprovokasi golongan keluarga Blater, yang dikenal sebagai jagoan dan sering menjadi kaki tangan penjajah, untuk melakukan Carok.
Akibat hasutan Belanda, Carok kerap terjadi di kalangan masyarakat sendiri, yang sesungguhnya berasal dari bangsa yang sama. Peran Belanda dalam memicu konflik ini mencerminkan strategi adu domba untuk melemahkan solidaritas rakyat
Clurit yang Disalahgunakan
Pada masa Carok, senjata yang digunakan bukan lagi pedang atau keris seperti di zaman Madura kuno, melainkan celurit.
Penggunaan celurit ini dipengaruhi oleh Belanda, yang secara sengaja memberikan senjata tersebut kepada golongan Blater untuk merusak citra para pejuang Sakera.
Perlu diketahui, Sakera sendiri adalah seorang hero pemberontak dari kalangan santri dan muslim yang taat, dan menggunakan celurit sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penjajahan.
Sebaliknya, Belanda memanfaatkan celurit untuk mencitrakannya sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Strategi ini berhasil merasuk ke dalam budaya sebagian masyarakat Madura.
Begitulah, carok kemudian menjadi filsafat hidup untuk menyelesaikan berbagai persoalan, seperti perselingkuhan, sengketa tanah, atau konflik lainnya, dengan alasan menjaga harga diri.
BACA JUGA:
Orang Madura sendiri memiliki semboyan "Lebbi Begus Pote Tollang E Tembeng Pote Matah," yang berarti lebih baik mati daripada menanggung rasa malu. Prinsip ini menjadi landasan budaya mereka, sehingga konflik sering diselesaikan melalui Carok.
Selain sejarah carok, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Ingin tahu informasi menarik lainnya? Jangan ketinggalan, pantau terus kabar terupdate dari VOI dan follow semua akun sosial medianya!