Bagikan:

JAKARTA - Penambahan kewenangan dalam revisi UU Kejaksaan jadi sorotan akademisi dan praktisi hukum. Salah satunya adalah berkaitan fungsi intelijen bagi Korps Adhyaksa.

Hal ini disampaikan dosen fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Valerianus Beatae Jehanu yang mengatakan penambahan kewenangan ini harus hati-hati. Sebab, revisi perundangan itu tidak mengatur secara jelas fungsi pengawasan multimedia yang bisa dilakukan oleh Kejaksaan.

"Fungsi Intelijen Kejaksaan dalam penegakan hukum ini keliru karena harusnya hanya bisa dalam hal pro justicia," kata Valerianus dalam diskusi publik bertajuk 'Memperluas Kewenangan dan Memperkuat Pengawasan' di Jakarta dikutip Jumat, 21 Maret.

Alih-alih menambah kewenangan, harusnya pengawasan terhadap Kejaksaan makin diperkuat lewat revisi perundangan itu. Sebab, kondisi ini rentan menimbulkan impunitas bagi para jaksa.

Salah satu contoh yang disebut Valerianus adalah terkait frasa pemeriksaan terhadap jaksa bisa dilakukan atas persetujuan Jaksa Agung.

"Kontrol Kejaksaan semakin lemah karena memiliki imunitas yaitu Jaksa hanya bisa dipanggil dan diperiksa atas izin Jaksaan Agung," tegasnya.

Senada, Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure, Awan Puryadi juga menyoroti perihal penambahan kewenangan intelijen lewat revisi UU Kejaksaan.

Menurutnya, pasal ini bisa disalahgunakan untuk memanggil pihak tertentu tanpa melalui proses hukum yang jelas.

Tapi, di satu sisi, perbuatan itu tidak akan bisa digugat ke praperadilan lantaran bukan dalam proses penegakan hukum.

"Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu," ungkap Awan.

Awan juga menyoroti penambahan kewenangan lain seperti penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui pembentukan Badan Pemulihan Aset.

Menurutnya, kewenangan ini harusnya dibarengi penguatan pengawasan.

Selain itu,perihal penghentian kasus di luar proses pengadilan atau Restorative Justice (RJ) turut disinggung Awan. Tanpa ada pengawasan yang jelas, dia khawatir kewenangan itu justru disalahgunakan untuk memainkan kasus.

"Bisa jadi, Kejaksaan mengulik kasus, kemudian dengan alasan tertentu diberhentikan dengan alasan RJ. Lalu bagaimana dengan kasus illegal mining, misalnya, kemudian dihentikan dengan alasan RJ," jelasnya.

Terakhir, Awan turut mengkritisi definisi Kejaksaan dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 yang tidak diubah.

"Kekuasaan Kehakiman itu independen dan berada di yudikatif. Sementara, Kejaksaan itu Lembaga Pemerintah yang ada di kekuasaan eksekutif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi demokrasi dan sistem hukum kita," jelasnya.

Kondisi itu menurutnya juga bisa menimbulkan imunitas bagi anggota kejaksaan.

Ia mencontohkan dalam kasus Pinangki misalnya, Jaksa Agung pernah mengeluarkan peraturan untuk memberikan pendampingan hukum, karena dianggap sedang melaksanakan tugas kejaksaan.

"Dalam UU Kejaksaan Tahun 2021, imunitas langsung legal, sah. Harusnya imunitas ini diberikan oleh yudikatif. Ini problem karena kejaksaan memberikan imunitas pada dirinya sendiri," pungkasnya.