Resensi Buku <i>Rijsttafel</i>–Mewahnya Budaya Kuliner Masa Lalu
Buku Rijsttafel (Detha Arya Tifada/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Masa penjajahan Belanda adalah salah satu periode paling meninggalkan luka bagi bangsa Indonesia. Penindasan rakyat, adu domba kerajaan Nusantara, hingga keserakahan dalam eksploitasi rempah. Namun, masa-masa itu juga jadi era perpaduan budaya Belanda dan Nusantara yang melekat hingga hari ini.

Kala itu, para serdadu dan pejabat Belanda meminang istri dari kalangan pribumi karena ketiadaan wanita Belanda di Hindia Belanda. Dari perkawinan, perpaduan budaya merembet ke banyak hal, mulai dari bangunan bernuansa Indische stijl, musik tanjidor, dutch wife (bantal guling), hingga yang paling menarik: rijsttafel.

Perpaduan budaya dalam bentuk rijsttafel jadi menarik karena pembahasan terkait kebudayaan indis belakangan mulai sukar ditemukan dalam buku sejarah, apalagi buku sejarah di meja-meja sekolah. Untungnya, di tengah kelangkaan referensi terkait kebudayaan indis, khususnya rijsttafel. Fadly Rahman merasa terpanggil untuk mengulas perkara rijsttafel lebih dalam.

Mahakarya berjudul Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 pun muncul dan mulai menginvasi toko-toko buku pada 2016. Berawal dari skripsi, buku ini melalui proses penyuntingan dan penyesuaian gaya bahasa kembali, proses yang membuat buku ini tak hanya 'mengenyangkan', tapi juga nyaman dibaca.

Ulasan yang begitu komprehensif memudahkan para pembaca mengerti perjalanan budaya kuliner di Nusantara sedari zaman kolonial. Oleh karenanya, dalam resensi kali ini, pengetahuan yang diulas oleh buku akan dibagi dalam empat babak. Mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan, dan popularitasnya.

Pengertian

Pertama, arti rijsttafel. Sebelum masuk ke sejarah, arti rijsttafel harus dipahami terlebih dahulu. Secara sederhana, dalam bahasa Belanda, budaya kuliner ini terdiri dari dua suku kata: rijts yang mewakili nasi, tafel yang berarti meja.

Meski begitu, orang Belanda sering mendefenisikan rijsttafel sebagai eten van de rijsmaaltijd een seciale tafelgebruikt atau sajian nasi yang dihidangkan secara spesial. Namun, rijsttafel tak cuma berkaitan dengan cita rasa. Ada hal yang paling penting dari langgengnya budaya kuliner tersebut, yaitu sisi seremonial, pelayanan, dan urutan penyajian ala Eropa (appetizer, soup, main course, dessert).

Uniknya, lewat tradisi ini pula kalangan orang Belanda membuat hidangan pribumi menjadi naik kelas. Seperti tertulis dalam halaman kedua: Kesan itu tampak dari upaya untuk mengemas budaya makan pribumi melalui tampilan penataan meja dan hidangan dengan sentuhan barat.

Sejarah

Kedua, sejarah rijsttafel. Istilah rijsttafel mulai populer di Hindia-Belanda sekitar 1870-an. Saat itu, orang Belanda mulai banyak berdatangan dari daerah koloni berkat dibukanya Terusan Suez. Singkat cerita, orang Belanda yang sedikit kaget dengan iklim tropis mulai menyesuaikan diri. Salah satu cara, mereka harus menyesuaikan diri dengan persoalan makanan.

Selebihnya, penulis mengungkap asumsi bahwa budaya kuliner rijsttafel erat hubungannya atau diadopsi dari tradisi dan kebiasaaan makan pada keraton-keraton Jawa di masa lalu. Sebab, ciri utamanya terletak dari lusinan pelayan yang siap melayani dan melimpahnya makanan yang tersaji saat raja menyambut seorang tamu.

Namun, ada pula pendapat lain yang menegaskan budaya tersebut muncul justru dari penyambutan tamu ala tuan tanah di Jawa. “Inspirasi terdekat rijsttafel sebenarnya lebih banyak bermula dari ruang-ruang makan mewah para tuan tanah perkebunan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20," tertulis di halaman 42.

"Rijsttafel kemudian menjadi simbol gaya hidup di kalangan orang-orang Belanda yang mengangkat kebiasaan makan nasi sebagai salah satu wujud budaya kolonial,” tersambung.

Perkembangan

Ketiga, perkembangan rijsttafel. Dalam penyajiannya, orang Eropa selalu menggunakan tenaga orang-orang pribumi sebagai pelayan mereka, baik di rumah maupun di ruang makan hotel. Rijsttafel pun biasanya dihidangkan pada siang hari.

“Hingga sekitar tahun 1900-an, makanan siang dengan nasi, sayur, dan lauk-pauk masih terkesan sebagai hidangan pembuka karena setelah itu masih dilanjutkan dengan jenis makanan Eropa –seperti biefstuk dan hutspot—sebagai hidangan utama. Sajian kemudian ditutup dengan pencuci mulut, seperti buah nanas, mangga, rambutan, dan duku,” termaktub di halaman 61.

Kelak, pada dasawarsa kedua dan ketiga abad ke-20, orang Eropa mulai beradaptasi dengan lingkungan di Hindia. Buktinya, santap siang mulai didominasi ragam hidangan pribumi nasi, sayur, dan lauk-pauk. Sementara itu, hidangan Eropa hanya dikonsumsi pada malam hari saja.

Peleburan budaya

Keempat, peleburan budaya. Peleburan budaya selalu menjadi yang menarik dari rijsttafel. Misalnya, dalam beberapa hidangan khas Belanda, sentuhan khas Hindia dengan rempah-rempah melimpah mulai disesuaikan. Beberapa di antaranya ada bruine bonen soep (sup kacang merah), huzarensla (selada Belanda), Indische pastel (pastel tutup), dan zwartzuur (ayam suir-suir).

Bahkan, makanan yang populer disebut semur, perkedel, dan bistik, aslinya bukan dari bumi Nusantara. Ketiganya berasal dari Belanda yang perlahan-lahan diadopsi dan menyesuaikan dengan lidah lokal hingga begitu akrab dan mengesampingkan fakta bahwa makanan tersebut awalnya dari Belanda.

Hal yang sama juga berlaku bagi orang Eropa pada zaman itu. Orang Eropa pun pada saat itu sangat menyukai makanan Indonesia seperti pisang goreng, serundeng, kacang goreng, dan telur mata sapi. Empat makanan tersebut sungguh digemari oleh orang Belanda.

“Banyak orang Pribumi seperti Paku Buwono X (1893-1939) yang keheranan melihat orang Belanda begitu menggemari pisang goreng yang sebenarnya bagi mereka biasa-biasa saja. uniknya, panganan ini oleh orang-orang Belanda disantap bersama nasi,” tertera di halaman 79.

Kiranya, itulah keseluruhan ulasan yang menarik dari buku dengan jumlah halaman 153. Walau rijsttafel sempat ada pada saat pendudukan Jepang, tradisi pun masih tetap lestari di restoran-restoran Belanda hingga hari ini. Sedangkan, di Indonesia sendiri, beberapa restoran di kota-kota besar masih tetap menjaga agar budaya rijsttafel tetap lestari, sekalipun langka.

Detail:

Judul Buku: Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942

Nama Penulis: Fadly Rahman

Terbit Pertama Kali: 2016

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Jumlah Halaman: 153