Tanamkan Rasa Takut, Rezim Militer Myanmar Periksa Panggilan, Pesan Singkat hingga Galeri Foto Ponsel Warga
Ilustrasi bentrok warga sipil dengan aparat rezim militer Myanmar. (Wikimedia Commons/VOA News)

Bagikan:

JAKARTA - Rezim militer Myanmar mengintensifkan pemeriksaan ponsel milik warga sipil, guna memeriksa keterkaitan mereka dengan gerakan pembangkangan sipil (CDM) maupun hal-hal lain terkait dengan penolakan kudeta 1 Februari.

"Mereka melihat galeri foto saya. Mereka membaca pesan saya. Dan mereka memeriksa akun Facebook Messenger saya. Kemudian mereka bertanya apakah saya terlibat dalam protes. Mereka ingin tahu pihak mana yang saya dukung dalam politik," ujar Nandar, bukan nama sebenarnya, seorang wanita asal Mandalay yang menceritakan pengalaman ponselnya diperiksa aparat keamanan, mengutip Myanmar Now Minggu 18 Juli. 

Untungnya, dia sudah mengambil tindakan pencegahan untuk menghapus foto atau pesan yang memberatkan. Sedikit saja foto atau pesan yang mencurigakan terkait dengan unjuk rasa, bisa dipastikan Nandar segera berada di balik jeruji besi. 

Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di pengasingan, rezim menyasar ponsel warga Myanmar yang dijadikan sarana perlawanan terhadap kudeta dan rezim militer.

AAPP, yang mengatakan setidaknya ada 5.100 orang masih ditahan di penjara negara itu karena menentang pengambilalihan militer 1 Februari, menyebut situasi saat ini yang terburuk dalam sejarah panjang penindasan Myanmar.

myanmar
Pengunjuk rasa anti-kudeta berhadapan dengan aparat keamanan Myanmar. (Wikimedia Commons/Ninjastrikers)

"Tidak pernah di masa lalu seburuk sekarang ini,” kata juru bicara kelompok itu, yang meminta tidak disebutkan namanya karena dia khawatir akan keselamatan keluarganya.

Tujuan militer, katanya, adalah untuk menanamkan rasa takut pada semua orang dengan melanggar privasi mereka di setiap tingkatan, baik dengan menggerebek rumah mereka atau menyita telepon seluler mereka.

Nandar menuturkan, kebanyakan warga sekarang mengurangi berbagu unggahan di Facebook maupun media sosial lainnya. Sementara, sebagian warga lainnya memilih untuk membuat akun baru yang membuat mereka tidak mudah terdeteksi. Warga pun kini menghindari jalan-jalan besar agar tidak bertemu dengan aparat keamanan Myanmar. 

Di Yangon, bekas ibu kota, kaum muda mengatakan mereka sangat berisiko menjadi sasaran pemeriksaan oleh aparat keamanan, karena generasi mereka dikenal 'Generasi Z' yang berada di baris terdepan gerakan anti-kudeta.

"Apa pun yang menunjukkan kami mendukung gerakan tersebut, seperti foto salut tiga jari, sudah cukup untuk membuat kami dipenjara dan disiksa," kata seorang warga muda Yangon.

Sebagai seseorang yang secara teratur bergerak di sekitar kota, dia mengatakan perlu berhati-hati untuk menghindari daerah di mana pejuang perlawanan bersenjata telah menyerang pasukan rezim atau membunuh mata-mata rezom militer. Tempat-tempat di mana terjadi ledakan yang menargetkan gedung-gedung pemerintah atau properti milik sekutu militer adalah yang paling berbahaya, katanya.

militer myanmar
Ilustrasi tentara rezim militer Myanmar. (Twitter/@MyatWutYeeAung1)

Hal terburuk yang dapat Anda lakukan jika ditanyai adalah mengkhianati rasa takut Anda, kata seorang wanita muda yang baru-baru ini menjadi sasaran interogasi menyeluruh saat bepergian dari Yangon ke kampung halamannya di Pyapon di Wilayah Ayeyarwady.

"Jika seseorang terlihat gugup, mereka akan membuat mereka semakin takut. Saya baru saja menunjukkan ponsel saya kepada mereka dan tidak menunjukkan betapa takutnya saya," ungkapnya tentang tentara yang menghentikannya

Dia menambahkan bahwa pasukan yang mengambil ponselnya tidak hanya melihat akun media sosial. rezim militer juga memeriksa aplikasi yang dia gunakan untuk transaksi keuangan, seperti KBZ Pay dan Wave Pay.

Untuk diketahui, rezim militer Myanamr bergerak cepat untuk memperkenalkan perubahan legislatif yang memudahkan pengawasan elektronik.

Meskipun belum ada undang-undang baru yang diberlakukan, junta militer telah mengamandemen Undang-Undang Perlindungan Privasi dan Keamanan Warga, agar memungkinkan aparat untuk secara bebas mencegat dan memeriksa layanan telekomunikasi.

Digunakan bersama-sama, aturan-aturan yang diberlakukan oleh junta untuk keuntungannya sendiri telah menghapus hak atas privasi apa pun yang telah diharapkan oleh rakyat Myanmar selama satu dekade pemerintahan sipil.

Pengawasan online

Sementara itu, mengutip Frontiermyanmar, selain memeriksa ponsel secara langsung, sebuah tim keamanan siber polisi bekerja dengan operator seluler milik negara dan militer untuk memantau pengguna telepon secara real time, dan untuk mengidentifikasi dan melacak lawan rezim secara online.

Akhir tahun lalu, sesaat sebelum kudeta, Kementerian Transportasi dan Komunikasi mengarahkan Kepolisian Myanmar untuk membentuk tim keamanan siber untuk memantau panggilan telepon dan penggunaan media sosial, kata seorang petugas polisi di tim tersebut kepada Frontier, yang berbicara dengan syarat anonim.

kudeta myanmar
Unjuk rasa anti-kudeta militer Myanmar. (Wikimedia Commons/သူထွန်း)

Tim ini bermarkas di dalam Cabang Khusus polisi, yang petugas berpakaian premannya terkenal karena pengawasannya terhadap penduduk, dan kegiatan tim tersebut melengkapi pekerjaan kasus khusus dari Divisi Kejahatan Dunia Maya Departemen Investigasi Kriminal.

Meskipun diprakarsai di bawah pemerintahan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang digulingkan, pemantauan telah menjadi kunci bagi upaya rezim militer baru untuk menetapkan apa yang oleh sebagian orang digambarkan sebagai 'negara pengawasan', di mana pihak berwenang melacak penggunaan telepon dan internet dengan cermat dan menyita perangkat dari warga sipil biasa sebelum menganalisis mereka untuk bahan yang memberatkan.

Tim baru mulai bekerja sekitar sebulan setelah kudeta, ketika kementerian memperkenalkan apa yang digambarkan oleh petugas polisi sebagai sistem kecerdasan buatan yang memungkinkan tim untuk memantau panggilan, pesan teks, dan lokasi pengguna yang dipilih secara real time.

Jika kata-kata tertentu, seperti 'protes' atau 'revolusi', disebutkan selama panggilan, maka sistem secara otomatis merekamnya. Ini juga memicu pemberitahuan kepada polisi, sehingga panggilan tersebut dapat ditinjau dan, jika perlu, pengguna dapat ditempatkan di bawah pengawasan yang lebih ketat atau panggilan tersebut disimpan sebagai bukti.

Dikenal sebagai “intersepsi yang sah”, pemantauan real time ini menandai peningkatan besar dalam pengawasan pengguna telepon yang menurut para ahli mengkhawatirkan dalam konteks seperti Myanmar, di mana hanya ada sedikit perlindungan hukum.

Sebelumnya, aparat keamanan hanya dapat mengakses data historis dari pengguna, misalnya, siapa yang mereka hubungi dan lokasi mereka berdasarkan menara seluler mana yang mereka hubungkan, dengan mengajukan permintaan ke operator terkait.

Petugas tidak mengetahui berapa banyak pengguna yang dipantau, tetapi mengatakan itu adalah jumlah yang signifikan. “Kami tidak dapat memantau semua percakapan, sehingga mereka membutuhkan sistem yang hanya menandai panggilan sensitif. Ini bukan sistem yang sangat canggih tetapi berfungsi dengan baik untuk saat ini," terang seorang petugas. 

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.