MEDAN - Mutasi COVID-19 varian AY.1 yang populer dengan sebutan 'Varian Delta Plus' sudah ditemukan di Indonesia. Sudah ada 3 kasus di dua wilayah tanah air.
"Varian Delta Plus sebenarnya belum resmi. Kalau yang dimaksud AY.1 sudah ada tiga. Sudah ada di Mamuju (Sulawesi Barat) dan Jambi," ujar Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandrio, Selasa, 27 Juli.
BACA JUGA:
Varian Delta Plus menambah daftar varian baru Corona yang perlu diwaspadai. Jika varian Delta saja sudah lebih menular, bagaimana dengan varian Delta Plus ya?
Dalam laporan Public Health England, varian Delta Plus ini diidentifikasi pada enam genom dari India yang dilaporkan pada 7 Juni lalu. Badan kesehatan Inggris tersebut telah mengonfirmasi keberadaan total 63 genom varian Delta dengan mutasi K417N.
Varian Delta Plus memiliki mutasi yang berbeda dibanding Varian Delta atau B1617.2, yakni pada protein K417N. Mutasi yang sama juga ditemukan dalam varian Beta (B1351) dan varian Gamma (P1).
Kenapa disebut varian Delta Plus?
Varian Delta Plus yang memiliki kode B1617.2.1 atau AY.1 ditandai dengan adanya mutasi K417N. Mutasi itu ada pada protein spike virus Corona yang membantu virus masuk dan menginfeksi sel manusia.
Menurut Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Soumya Swaminathan, tambahan istilah 'Plus' pada varian Delta Plus menandakan bahwa varian tersebut telah mengalami mutasi lebih lanjut. Mutasi yang ada pada varian Delta Plus ini juga ditemukan pada varian Beta (B.1351) dari Afrika Selatan dan Gamma (P.1) dari Brazil.
"Mutasi itu memiliki potensi untuk mempengaruhi respons antibodi dalam melawan virus. Sehingga, ada sedikit kekhawatiran bahwa varian ini akan menjadi lebih mematikan, karena ia menjadi lebih kebal terhadap obat-obatan," kata Dr Soumya yang dikutip dari Twitter resmi WHO, Selasa, 27 Juli.
Varian Delta Plus ini disebut-sebut kebal terhadap pengobatan kombinasi antibodi monoklonal untuk COVID-19 yang disahkan di India. Pengobatan tersebut mencakup Casirivimab dan Imdevimab, yang sudah menerima otorisasi penggunaan darurat di India dari Organisasi Pengawasan Standar Obat Pusat.
Apakah lebih berbahaya?
Professor imunologi dan virologi dari Institute of Medical Sciences, Banaras Hindu University, Sunit K Singh menyebut ada kemungkinan mutasi pada varian Delta Plus tersebut, yang juga ditemukan pada beberapa varian lain, membuat vaksin kurang memberikan perlindungan.
"Varian Beta dengan mutasi ini telah menunjukkan kemampuan untuk lolos dari antibodi yang diberikan oleh vaksinasi COVID, setidaknya sampai batas tertentu," jelasnya.
Apakah lebih menular?
Menurut ahli imunologi Vineeta Bal, resistensi varian Delta Plus terhadap kombinasi antibodi monoklonal bukanlah indikasi virulensi atau tingkat keparahan yang lebih tinggi. Ia mengatakan belum ada alasan untuk khawatir karena prevalensi varian Delta Plus ini masih tergolong rendah.
"Seberapa menular varian baru ini akan menjadi faktor penting untuk menentukan penyebarannya yang lebih cepat atau sebaliknya," jelas Vineeta Bal kepada kantor berita PTI.
Hal senada juga diungkapkan Dr Soumya di Twitter resmi WHO. Menurutnya, kasus yang berkaitan dengan varian Delta Plus ini masih sangat jarang ditemukan, termasuk secara global.
Gejala varian Delta PlusAhli virologi top di India mengatakan gejala varian Delta Plus ini hampir sama dengan gejala yang ditemukan pada varian Delta dan varian Beta (B1351).
Tidak ada gejala yang berbeda pada varian Delta Plus, umumnya mencakup gejala sebagai berikut:
- Batuk
- Diare
- Demam
- Sakit kepala
- Ruam kulit
- Perubahan warna pada jari tangan dan kaki
- Nyeri dada
- Sesak napas
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Muncul Varian Delta Plus di Indonesia, Lebih Bahaya?
Selain COVID-19 Varian Delta Plus, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!