Sejak Lama AS Tolak Prabowo Masuk, Apa Akar Masalahnya?
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Amerika Serikat (AS) resmi mencabut larangan masuk bagi Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto. Hal ini jadi kontroversi. Prabowo, di mata pegiat hak asasi manusia (HAM) internasional adalah pelaku pelanggaran besar HAM. Dan perubahan sikap AS yang sebelumnya keras terhadap Prabowo dipandang sebagai bencana besar HAM.

Di Pentagon, Prabowo akan menemui Menteri Pertahanan AS Mark Esper. Seorang pejabat yang tak disebut nama menggambarkan keterbukaan Pentagon terhadap Prabowo hari ini, dengan mengatakan, "Menteri Prabowo adalah menteri pertahanan yang ditunjuk oleh presiden yang telah dua kali terpilih di Indonesia, yang merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia."

"Dia adalah rekan kami, dari kemitraan yang sangat penting, dan penting bagi kami untuk terlibat dengannya dan memperlakukannya sebagai mitra," tambah pejabat itu.

Selain di Pentagon, Prabowo juga akan hadir dalam pertemuan lain di Washington DC pada Kamis, 15 Oktober. Hal itu diyakini terkait rencana Indonesia membeli jet tempur yang juga menarik minat Moskow.

Jejak penolakan Prabowo

Prabowo adalah mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dugaan keterlibatannya dalam kejahatan militer di berbagai wilayah Indonesia, termasuk operasi militer Timor Timur dan penculikan sejumlah aktivis 98 membuatnya dicibir kalangan pendukung HAM.

Prabowo, pada 2012 juga sempat mengatakan kepada Reuters bahwa ia ditolak saat mengajukan visa AS karena tuduhan bahwa ia telah memicu kerusuhan yang menewaskan ratusan orang setelah penggulingan Soeharto pada 1998.

Namun, sejak diangkat menjadi menteri pertahanan oleh rezim Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu, posisi Prabowo mulai berubah, setidaknya di mata pemerintah AS hari ini. Trump jadi tokoh kunci dalam upaya pemerintahan Donald Trump memperdalam hubungan pertahanan dengan Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Amnesty International dan pendukung hak asasi lainnya mengutuk keputusan Departemen Luar Negeri AS untuk pemberian visa pada Prabowo. Padahal, AS telah lama menolak Prabowo masuk, bahkan ketika putra Prabowo lulus dari Universitas Boston pada tahun 2000.

Direktur Nasional Advokasi dan Hubungan Pemerintah Amnesty Internasional AS Joanne Lin mengatakan, "Keputusan Departemen Luar Negeri baru-baru ini untuk mencabut larangan Prabowo Subianto adalah kebalikan total dari kebijakan luar negeri AS yang telah berlangsung lama."

Lin juga menyebut kunjungan Prabowo ke AS sebagai "bencana besar bagi hak asasi manusia di Indonesia." Melengkapi Lin, Senator Patrick Leahy, mengutuk keputusan pemerintahan Trump. Leahy adalah penulis undang-undang yang melarang bantuan militer AS ke unit militer asing yang melakukan pelanggaran HAM tanpa hukuman.

Di mata Leahy, Prabowo adalah pelanggar HAM. Dan Prabowo jelas belum mendapat hukuman. Karenanya, Leahy mengatakan Prabowo "tidak memenuhi syarat untuk memasuki negara ini (AS)."

"Dengan memberikan visa kepada Menteri Pertahanan Prabowo, Presiden dan Menteri Luar Negeri sekali lagi telah menunjukkan bahwa bagi mereka hukum dan ketertiban adalah slogan kosong yang mengabaikan pentingnya keadilan," kata Leahy kepada Reuters, dikutip Kamis, 15 Oktober.

Prabowo mendaftar di militer pada usia 19 tahun. Enam tahun kemudian ia bergabung dengan Kopassus, pasukan khusus dari Angkatan Darat. Prabowo memimpin Tim Mawar yang dituduh menculik aktivis mahasiswa yang terlibat dalam gerakan penggulingan Soeharto. 13 aktivis sejak saat itu masih hilang.

Prabowo secara konsisten membantah keterlibatannya dalam setiap dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk di Jakarta, Timor Timur, dan juga Papua Barat. Di luar segala tuduhan itu, Prabowo adalah politikus yang amat berpengaruh. Ia telah berulang kali mencalonkan diri sebagai presiden.

Terkait kepentingan di AS, para analis membaca AS akan kembali memperingatkan Indonesia tentang pembelian senjata besar-besaran dari Moskow. Peringatan tersebut seringkali disuarakan AS kepada mitranya di seluruh dunia karena membeli jet tempur Rusia dapat memicu sanksi AS di bawah Undang-Undang Penentang Amerika Melalui Sanksi AS (CAATSA).

"Kami meningkatkan risiko CAATSA dalam semua percakapan kami dengan Kementerian Pertahanan," kata pejabat AS yang anonim.

Kementerian Pertahanan Indonesia menolak berkomentar tentang kunjungan Prabowo ke AS. Namun, seorang pejabat pemerintah Indonesia mengatakan, melalui kunjungan itu Indonesia ingin membuka "peta jalan" untuk mendapatkan jet tempur F35.

"Tetapi jujur kami tidak berharap banyak," kata pejabat Indonesia yang juga berbicara dengan syarat anonim.