Terancam Bangkrut, Kondisi Sri Lanka 2022 Serupa Indonesia 1998
Rakyat Sri Lanka melakukan demonstrasi besar-besaran akibat krisis ekonomi parah di negeri itu. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pandemi COVID-19 yang telah terjadi sejak 2020 memporak-porandakan perekonomian dunia. Sejumlah negara mengalami krisis ekonomi. Bahkan, Sri Lanka terancam mengalami kebangkrutan.

Sektor pariwisata yang digadang-gadang bisa meningkatkan pendapat negara ternyata tidak sesuai harapan akibat pembatasan wisata pada masa pandemi. Belum lagi, kegagalan produksi hasil bahan pokok beras yang sebelumnya selalu ekspor ke sejumlah negara malah berbalik. Sri Lanka mau tak mau harus impor guna memenuhi kebutuhan lebih dari 23 juta penduduknya.

Itu pun masih belum cukup karena cadangan devisa negara terbatas. Beras dalam 6 bulan terakhir mengalami kelangkaan. Pihak berwenang juga menjatah penjualan susu bubuk, gula, dan bahan pokok lainnya. Menurut laman Firstpost, harga pangan naik mencapai 21,5 persen pada Desember 2020 yang awalnya hanya 16,9 persen bulan sebelumnya.

Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka tersingkir. (India Today)

Bahan bakar minyak dan listrik kondisinya juga tidak terlalu berbeda. Keseluruhan, harga konsumerisme naik mencapai 14 persen pada Desember 2021.

Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) juga telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 100 basis poin atau 1 persen untuk meredam inflasi yang menjulang. Tingkat suku bunga pinjaman dinaikkan menjadi 15,50 persen, sedangkan suku bunga simpanan naik menjadi 14,50 persen tertinggi dalam 21 tahun.

CNBC menyebut inflasi Sri Lanka telah menyentuh rekor 54,6 persen pada Juni 2020, khusus inflasi makanan meningkat hingga 80,1 persen. Mata uang LKR telah terdepresiasi lebih dari 63% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini. Nilai tukar rupee LKR menurun tajam dari 198,85 LKR pada Desember 2021 hingga 363,93 perdolar AS pada perdagangan Senin (11/7) Inilah krisis ekonomi terburuk sejak Sri Lanka merdeka pada 1948.

Massa Bertindak Anarkis

Rakyat langsung bereaksi agar pemerintah bisa membenahi kondisi tersebut. Kerusuhan terjadi di beberapa kota. Aturan jam malam tak mampu meredam kemarahan demonstran, justru mendorong lebih banyak orang turun ke jalan.

Berdasar info, sembilan orang tewas dan ratusan terluka ketika bentrokan meletus di seluruh negeri setelah loyalis Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa menyerang pengunjuk rasa damai di luar kantor presiden pada Mei lalu.

Tindakan tersebut membuat para demonstran semakin anarkis. Pada Sabtu (8/7), ribuan demonstran menyerbu kediaman Presiden Rajapaksa di Kota Kolombo. Tak hanya polisi, pihak berwenang sampai menerjunkan tentara bersenjata senapan serbu guna mengamankan presiden keluar dari kediamannya. Bentrokan tak terelakkan. Para demonstran akhirnya mampu merobohkan barikade dan masuk ke istana.

Dalam video di media sosial, setelah kediaman presiden berhasil diduduki, mereka mengobrak-abrik setiap ruangan, beberapa orang memanfaatkan fasilitas yang ada. Ada yang berenang di kolam renang, hingga ada demonstran yang masuk ke kamar presiden sambil menghitung uang yang mereka klaim ditemukan di sana.

Pendemo mengepung kediaman Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka terguling. (

Kediaman Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe tak luput dari amarah massa. Laporan CNN pada Minggu (10/7), para demonstran sampai membakarnya. Wickremesinghe sendiri tidak berada di kediamannya. Dia berhasil dievakuasi ke tempat aman.

“Presiden harus mengundurkan diri, perdana menteri harus mengundurkan diri dan pemerintah harus mundur," ucap seorang demonstran seperti dilansir dari Reuters, Senin (11/7). 

Mengatasi desakan itu, Presiden Rajapaksa akhirnya setuju mengunduran diri. Melansir The Guardian, juru bicara parlemen, Mahinda Yapa memastikan presiden akan mundur dari kekuasaan pada 13 Juli 2022 untuk memastikan transisi kekuasaan yang damai.

Perdana Menteri Wickremesinghe juga telah mengatakan pada pertemuan para pemimpin partai bahwa dia akan mengundurkan diri segera setelah pemerintahan semua partai yang baru dibentuk.

Serupa dengan Indonesia 1998

Indonesia juga sempat mengalami krisis serupa. Tepatnya, terjadi pada 1998. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menurun tajam hingga mencapai Rp16.650 ribu per dolar AS pada 17 Juni 1998 dari awalnya hanya Rp2.000 per dolar AS dua tahun sebelumnya.

Peningkatan mulai terjadi kiranya sejak Oktober 1997 sekitar Rp3.500-an per dolar AS. Lalu, melonjak hingga Rp12.950 per dolar AS pada akhir Januari 1998. Rupiah sempat berfluktuasi pada periode Januari-Mei 1998, kemudian meningkat lagi pasca Presiden Soeharto lengser.

Kondisi ketika itu tak jauh berbeda dengan Sri Lanka saat ini. Harga bahan-bahan pokok melambung tinggi. Tingkat inflasi mencapai 70 persen. Begitupun suku bunga bank juga melonjak hingga 70 persen.

Beragam elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, buruh, hingga kalangan elite mulai bersuara. Aksi demonstrasi terjadi di berbagai kota. Mereka memaksa Presiden Soeharto mundur karena ketidakmampuan mengendalikan kondisi perekonomian negara setelah 31 tahun berkuasa. Berantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) menjadi jargon perlawanan.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa diamankan ke Kapal milik Angkatan Laut Sri Lanka pascakerusuhan. (Instagram @sertelnoticias)

Demonstrasi dari yang awalnya berjalan kondusif berubah anarkis. Rakyat mulai brutal. Penjarahan supermarket, ruko, pasar terjadi bahkan merebak hingga ke area pemukiman elite penduduk. Tepatnya 14 Mei 1998, Ibu Kota Jakarta penuh dengan api dan asap tebal dari sejumlah bangunan terbakar.

Ribuan mahasiswa merangsek ke kantor-kantor pemerintahan. Pada 18 Mei 1998, mereka berhasil menduduki Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta dan baru membubarkan diri setelah Presiden Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998.

Berdasar laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), sekitar 1.190 orang tewas dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, 27 orang di antaranya tewas karena senjata, sisanya akibat terbakar. Lalu, 91 wanita menjadi korban pemerkosaan.

Data Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan menyebut jumlah lebih banyak. Korban pemerkosaan di Jakarta dan sekitarnya pada 12 mei-2 Juni 1998 mencapai 152 orang, 20 di antaranya meninggal.

Setelah Presiden Soeharto lengser suasana kembali kondusif. Pemerintahan pengganti menerbitkan gagasan-gagasan baru guna mengatasi krisis ekonomi. Sri Lanka bukan tidak mungkin bernasib sama. Setelah Presiden dan Perdana Menteri mundur suasana akan kembali terkendali.