Menyoal Rencana Pemblokiran Google, Facebook, WhatsApp, dan Instagram di Indonesia: Apa Penyebab dan Dampaknya?
Aplikasi media sosial Instagram, akankah hengkang dari Indonesia bersama saudara-saudaranya seperti Google, Facebook, dan Whatsapp akibat terbentur aturan Penyelenggara Sistem Elektronilk? (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Apa jadinya bila, Google, Facebook, WhatsApp, Instagram tidak bisa lagi diakses oleh masyarakat Indonesia?

Pertanyaan ini mengemuka pasca kabar rencana pemblokiran aplikasi tersebut oleh Kominfo. Google, Facebook, WhatsApp, dan Instagram, belum melakukan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang ada di Indonesia. Bila sampai waktu tenggat yang diberikan, yakni 20 Juli 2022 tidak juga mendaftar, akses platform atau situs milik PSE Lingkup Privat berpotensi diblokir.

“Prosesnya bertahap, kami akan identifikasi dahulu, meminta penjelasan dari PSE bersangkutan. Jika tidak ada penjelasan yang cukup bisa diterima oleh Kementerian Kominfo, maka sesuai dengan PM 5/2020 dan revisinya, maka kami akan langsung melakukan pemutusan akses," ucap Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi..

Google, Facebook, WhatsApp, Instagram adalah aplikasi yang paling populer di Indonesia. Google adalah mesin pencari yang paling banyak digunakan di dunia. Bahkan, lebih dari 70 persen permintaan pencarian online di seluruh dunia ditangani oleh Google. Tak jauh berbeda di Indonesia. Hampir seluruh pengguna internet Indonesia mengakses Google.

Begitupun Facebook. Mengacu data Internetworldstats seperti dilansir dari katadata.com, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 175,3 juta pada akhir Maret 2021. “Angka tersebut setara dengan 63,4% dari total populasi yang mencapai 276,36 juta jiwa (estimasi 2021) atau 82% dari pengguna internet di Tanah Air.”

Lalu WhatsApp, yang mencapai 84,8 juta pengguna per Juni 2021 dan Instagram yang mencapai 92,53 juta pengguna pada kuartal keempat 2021.

Logo Meta Platform Inc. di kantor pusat perusahaan tersebut di Menlo Park, California, AS. (Wikipedia)

Bila ketiga aplikasi tersebut benar diblokir tentu menjadi kesempatan emas untuk para kompetitornya. Semisal TikTok. Lihat pencapaian TikTok saat ini. Laporan We Are Social bertajuk ‘Digital 2022: Another Year of Bumper Growth’ menyebut jumlah pengguna aktif TikTok telah mencapai 1,6 miliar per Januari 2022. Mengalahkan jumlah pengguna aktif instagram yang jauh lebih dulu eksis dengan 1,47 miliar pengguna aktif.

Angka mengacu dari jumlah unduhan. “Jumlah unduhan TikTok pada semester 1 2022 sebanyak 373,2 juta kali. Sedangkan secara keseluruhan sejak aplikasi itu diluncurkan 2016, total unduhan telah mencapai 3,7 miliar. Pada paruh pertama tahun ini TikTok tetap menjadi aplikasi dengan unduhan terbanyak mengalahkan deretan aplikasi media sosial milik Meta Grup (Instagram, Facebook, dan WhatsApp). Bahkan TikTok yang dipasarkan di negara asalnya dengan nama Douyin itu telah mengalahkan jumlah unduhan per kuartal Meta Grup sejak kuartal-I 2021,” dikutip dari Netray.id, Senin (18/7).

Pengguna rata-rata bahkan menghabiskan 95 menit per hari untuk membuka TikTok. Catatan waktu ini lebih dari empat kali durasi rata-rata yang dihabiskan di Snapchat (21 menit), lebih dari tiga kali waktu yang dihabiskan di Twitter (29 menit), dan hampir dua kali lipat dari Facebook (49 menit) dan Instagram (51 menit).

Telegram pun sangat mungkin menjadi lebih populer dari WhatsApp. Ketika WhatsApp padam selama hampir 7 jam pada September 2021 lalu saja, Telegram, kata Pavel Durov selaku inisiator, justru mendapat 70 juta pengguna baru.  

Popularitas Telegram memang masih kalah dengan WhatsApp saat ini. Kendati begitu, melansir Business of Apps, pengguna Telegram terus meningkat dan sudah mencapai 500 juta orang pada 2021.

Bisa jadi karena aplikasi penyampai pesan singkat ini memiliki kelebihan tersendiri. Antara lain, mampu mengirim data berukuran besar, mampu membuat grup komunikasi daring dengan kapasitas 200 ribu peserta, dan sinkronisasi cepat. Telegram disebut-sebut juga sebagai salah satu aplikasi berbagi pesan yang aman karena menjalankan fitur end-to-end encryption lebih rumit dari WhatsApp sehingga aplikasi ini sulit disadap hacker.

Belum lagi aplikasi-aplikasi lain dari China seperti Baidu sebagai pengganti mesin pencarian Google, Weibo sebagai pengganti Facebook dan Twitter, Youku Tudou yang merupakan platform video streaming seperti YouTube, serta WeChat, aplikasi pesan instan yang sudah berkembang menjadi aplikasi multi fungsi, termasuk belanja daring dan dompet digital.

Bukan tidak mungkin aplikasi-aplikasi itu akan terus melebarkan pasar ke Indonesia bila Google dan produk Meta Platform Inc lainnya memilih tak mendartar PSE.

Mungkinkah Facebook, IG, WA Hengkang dari Indonesia?

Kemungkinan aplikasi Facebook, IG, WA dan sejumlah aplikasi besar lain hengkang dari Indonesia bisa saja terjadi. Google sudah beberapa kali dalam posisi seperti saat ini. Seperti pada 2021 lalu, Google mengancam akan menarik layanan pencariannya dari Australia jika Pemerintah Australia mengesahkan rancangan undang-undang News Media Barganing Code.

Undang-undang itu meminta Google membuat perjanjian komersial dengan setiap outlet berita, jika tidak akan dipaksa melakukan arbitrasi. “Aturan ini tentu akan menciptakan risiko keuangan dan operasional yang tidak dapat dikelola dengan baik,” ucap Direktur Google Australia Mel Silva dikutip dari berita Tempo pada 1 Februari 2021.

Google, Facebook, dan sejumlah aplikasi lain sebelumnya juga menarik diri dari China. Saat itu, China menerbitkan sensor ketat ke setiap Penyelenggara Sistem Elektronik. Aturan yang dirilis Cyberspace Administration China (CAC) seakan membatasi kebebasan berekspresi setiap warganya di media sosial. 

Seperti, larangan membuat dan menyebarluaskan konten ilegal yang membocorkan rahasia negara, merusak kebijakan agama bangsa, dan konten yang dianggap buruk dan dapat mendorong anak di bawah umur untuk melakukan tindakan negatif.

Akankah Instagram, Facebook, dan Whatsapp hengkang dari Indonesia? (Pixabay)

Selain itu, ada juga anjuran agar pembuat konten fokus mempromosikan teori sosialis, serta konten yang membantu meningkatkan pengaruh internasional budaya China.

CAC melakukan pengawasan ketat kepada produsen konten online, termasuk individu, operator aplikasi, dan platform lainnya. Menggunakan great firewall, jaringan sistem penyaringan internet kompleks yang digunakan untuk memblokir akses ke ribuan situs web asing dan DDoS (Distributed Denial of Service) diatur oleh sistem ofensif terpisah yang terletak bersama dengan Great Firewall. Sehingga China bisa mencegat dan mengarahkan sejumlah besar lalu lintas web ke situs tertentu.

“Landasan kendali internet China adalah data. Undang-undang keamanan dunia maya yang diberlakukan pada tahun 2017 mengharuskan perusahaan internet yang beroperasi di China untuk menyimpan data pengguna di server lokal dan memungkinkan inspeksi ketika pihak  menganggap perlu,” tulis CNBC Indonesia pada 22 April 2019.

Permasalahan Sama di Indonesia

Permasalahan yang terjadi di Indonesia mungkin tidak jauh berbeda. Google dan sejumlah Produk Meta Platform Inc masih mengulur waktu untuk mendaftar PSA. Sementara, pesaingnya (TikTok dan Telegram) justru sudah lebih dulu manut terhadap aturan Pemerintah Indonesia.

Konsultan dan Praktisi Keamanan Siber, Teguh Aprianto dalam tweetnya di @secgron menengarai, itu karena ada aturan di Permen Kominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat yang bertolak belakang dengan kebijakan privasi mereka.

Di dalam aturan tersebut terdapat pasal-pasal yang ‘bermasalah’. Pertama, pasal 9 ayat 3 dan 4. Pasal 9 ayat (3) PSE Lingkup Privat wajib memastikan: a. Sistem elektroniknya tidak memuat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang dan; b. Sistem elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.

Pasal 9 ayat (4) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dengan klasifikasi: a. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; c. Memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.

“Pasal 9 ayat 3 dan 4 ini terlalu berbahaya karena ‘meresahkan masyarakat’ & ‘mengganggu ketertiban umum’ ini karet banget. Nantinya bisa digunakan untuk "mematikan" kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab mengganggu ketertiban umum,” tulis Teguh, Minggu (17/7).

Lalu pasal 14  terkait Permohonan Pemutusan Akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Ayat 3 poin c berbunyi konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Menkominfo, Johnny Gerard Plate. (Antara/Puspa Perwitasari)

“Ditemukan lagi ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’. Di bagian ini nantinya mereka seenak jidatnya bisa membatasi kebebasan berekspresi dan juga berpendapat. Kok konten saya ditakedown? Mereka tinggal jawab meresahkan masyarakat,” tambah Teguh.

Lalu yang juga mengganggu adalah pasal 36, ayat (1) PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Lalu Lintas dan Informasi Pengguna Sistem Elektronik yang diminta oleh aparat penegak hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada narahubung PSE Lingkup  Privat.

Ayat (3) PES Lingkup Privat memberikan akses terhadap konten komunikasi yang diminta oleh aparat penegak hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada PSE Lingkup Privat

“Penegak hukum nantinya akan bisa meminta konten komunikasi dan data pribadi kita ke PSE. Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada kan?” tuturnya.

Melansir dari Tirto, Menkominfo Johnny G. Plate mengatakan pendaftaran PSE tidak berkaitan konten di PSE, tetapi lebih ke kewajiban administratif dari PSE. Pemerintah sudah hampir dua tahun mengimbau kepada PSE, terutama PSE lingkup privat seperti Facebook, Google, hingga Instagram untuk mendaftar.

Namun, pihak PSE lingkup privat tetap belum mendaftar. "Kami imbau agar PSE Lingkup Privat tersebut segera melaksanakan pendaftaran sebelum Kominfo melaksanakan sanksi sesuai ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia," tegas Plate.

Aturan PSE berlaku tidak hanya PSE Indonesia, tetapi juga PSE global, PSE investasi domestik maupun asing. Pemerintah juga mempunyai ketentuan berbeda untuk PSE lingkup privat dan PSE lingkup publik.

Sejauh ini, perwakilan Google berencana akan segera mengambil tindakan dalam mematuhi aturan PSE lingkup privat. "Kami mengetahui keperluan mendaftar dari peraturan terkait, dan akan mengambil tindakan yang sesuai dalam upaya untuk mematuhi,” ungkap perwakilan Google dilansir dari Tirto, Senin (18/7).

Sedangkan pihak WhatsApp dan Instagram belum mau menanggapi langkah lanjutan yang akan diambil jelang pemblokiran. “Dari kami belum ada tanggapan ya, baik untuk off-record ataupun untuk dikutip.”

Terkait