Kenali Bahaya Vape, Rokok Kekinian yang Dilarang WHO
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) rokok elektrik atau vape sama bahayanya dengan rokok konvensional. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan seruan kepada negara-negara untuk mulai melarang semua vape dengan perasa. WHO menyatakan perlu melakukan langkah-langkah mendesak untuk mengendalikan pemakaian rokok elektrik atau vape.

Sebelumnya, beberapa peneliti, aktivis, dan pemerintah memandang vape sebagai alat utama untuk mengurangi kematian dan penyakit yang disebabkan oleh rokok konvensional.

Alih-alih membantu perokok berhenti, WHO mengatakan vape justru berpotensi mendorong kecanduan nikotin pada non-perokok, terutama anak-anak dan remaja.

Anak muda menjadi sasaran penjualan vape yang membuat rokok elektrik ini laris manis di Indonesia. (Vapemagz Indonesia)

“Anak-anak direkrut dan dijebak di usia dini untuk memakai rokok elektrik dan mungkin kecanduan nikotin,” ujar Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman resmi WHO.

“Saya mendesak negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah ketat untuk mencegah penyerapan guna melindungi warga negaranya, terutama anak-anak dan remaja.”  

Popularitas di Indonesia Tinggi

Dalam beberapa tahun terakhir vape sangat populer di kalangan perokok. Katanya, rokok kekinian ini dapat membantu menghentikan kecanduan rokok konvensional.

Khusus di Indonesia, vape pertama kali masuk ke Tanah Air pada awal 2012, seiring berkembangnya media komunikasi dan informasi. Vape semakin dikenal luas oleh masyarakat karena dianggap memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Saat itu popularitas vape juga dibantu oleh banyaknya masyarakat yang membawa pulang vape ke Indonesia setelah pergi ke luar negeri.

Menurut laporan perusahaan data pasar dan konsumen, Statista, yang bertajuk Statista Consumer Insights, Indonesia merupakan negara pengguna vape terbanyak di dunia. Tercatat 25 persen responden asal Indonesia mengaku menggunakan rokok elektrik berbentuk pena tersebut setidaknya sesekali.

Seorang menunjukkan vape atau cairan rokok elektrik yang sudah dilekati pita cukai seperti halnya rokok. (Antara/Akhmad Nazaruddin Lathif/am)

“Di Indonesia, sebanyak satu dari empat orang yang disurvei oleh Statista Consumer Insights mengatakan pernah menggunakan vape setidaknya sekali,” demikian laporan Statista pada 31 Mei 2023.

Sementara di Eropa, laporan yang sama menunjukkan vape cukup populer di Swiss dengan 15 persen responden dan Inggris dengan 13 persen responden. Penggunaan vape di Amerika Serikat dan Kanada juga cukup populer walau berada di bawah Indonesia.

Survei tersebut dilakukan secara online terhadap sekitar 1.000-9.500 responden berusia 18-64 tahun dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Survei dilakukan pada periode Januari hingga Maret 2023.

Sama-sama Berbahaya

Popularitas vape terus menanjak dalam beberapa tahun terakhir karena vape juga umumnya dianggap kurang berbahaya dibandingkan merokok dengan tembakau. Vape diklaim sebagai alat untuk membantu berhenti merokok tembakau.

Laman National Health Service Inggris Raya bahkan sempat merilis sebuah tinjauan pada 2021. Dari tinjauan tersebut, NHS mengklaim orang-orang yang menggunakan rokok elektrik untuk berhenti merokok, dibarengi dengan dukungan langsung dari ahli, memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk berhasil dibandingkan orang yang menggunakan produk pengganti nikotin lainnya, seperti koyo atau permen karet.

Namun, klaim bahwa rokok elektrik lebih tidak berisiko dibandingkan rokok konvensional tampaknya hanya ilusi. Seiring berjalannya waktu, bahaya mengenai vape makin terlihat.

Mengutip AI Care, vape bekerja dengan cara memanaskan nikotin yang diekstrak dari tembakau, zat perasa, dan zat kimia lainnya untuk menghasilkan aerosol yang dihirup. Rokok tembakau mengandung lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya, jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan penggunaan rokok elektrik.

Poster peringatan bahaya vape. (IDAI)

“Meskipun rokok elektrik memiliki jumlah zat kimia berbahaya yang lebih sedikit dibandingkan rokok konvensional, tetapi rokok elektrik tetap menyimpan potensi bahaya bagi kesehatan. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa merokok menggunakan rokok elektrik tetap berbahaya dan dapat berisiko bagi jantung,” demikian dikutip AI Care.

Hal ini selaras dengan imbauan WHO yang pada 2020 sudah mengeluarkan pernyataan bahwa rokok elektrik juga berbahaya bagi kesehatan. WHO menyebut bahwa sebagian besar aerosol vape mengandung bahan kimia beracun, termasuk nikotin dan zat yang dapat menyebabkan kanker.

“Vape sendiri dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan gangguan paru-paru serta efek buruk pada perkembangan penyakit. Vape tidak diragukan lagi berbahaya, harus diatur secara ketat, dan yang terpenting harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak,” tulis WHO di laman resminya.

“Produk tembakau dan rokok elektrik sama-sama menimbulkan risiko terhadap kesehatan dan pendekatan teraman adalah dengan tidak mengonsumsi keduanya,” imbuh WHO.

Menyasar Anak Muda

Sialnya, vape yang awalnya disebut dapat ‘membantu’ orang lepas dari kecanduan rokok konvensional, lama kelamaan rokok elektrik justru menyasar anak-anak dan remaja.

Promosi vape dengan berbagai rasa yang begitu masif di media sosial membuat rokok kekinian ini makin dekat dengan anak muda. WHO pun menyayangkan pemasaran vape yang menargetkan anak-anak dan remaja melalui media sosial dan para influencer, dengan setidaknya 16 ribu rasa.

Pada 2021, organisasi kesehatan Vital Strategies dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memantau pemasaran rokok elektrik di media sosial selama 6 bulan melalui mesin TERM (Tobacco Enforcement and Reporting Movement). Mereka menemukan sebanyak 58 persen pemasaran rokok elektrik ini berlangsung di Instagram. Para pengguna muda ini menjadi sasaran empuk para produsen mempromosikan produk mereka.

“Beberapa produk tersebut menggunakan karakter kartun dan memiliki desain yang ramping sehingga menarik bagi bagi generasi muda,” kata Direktur Promosi Kesehatan WHO, Dr Ruediger Krech.

Anak-anak dan remaja menjadi sasaran empuk produsen rokok elektrik melalui promosi masif mereka di media sosial. (Pixabay)

WHO menuturkan, penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja berusia 13 sampai 15 tahun melebihi penggunaan orang dewasa di banyak negara. Karena itulah, organisasi PBB tersebut mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk mengontrol secara ketat dan melarang penggunaan rokok elektrik aneka rasa di masing-masing negara.

Selain dampak jangka panjang vape yang belum sepenuhnya diketahui, WHO mengatakan vape mengandung bahan beracun yang data menyebabkan kanker dan meningkatkan risiko kelainan hati dan paru-paru.

“Penggunaan rokok elektrik juga dapat memengaruhi perkembangan otak dan menyebabkan dan memicu gangguan belajar pada remaja. Paparan rokok elektrik pada janin dapat berdampak pada ibu hamil,” kata WHO.