Dituding Kalah dengan Pengusaha soal Minyak Goreng, Mendag Lutfi: Saya Tidak Bisa Diatur!
Menteri Perdagangan, M. Lutfi. (Foto: Dok. Kemendag)

Bagikan:

JAKARTA - Permasalahan minyak goreng yang tak kunjung selesai, menimbulkan persepsi bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi kalah dengan pengusaha minyak kelapa sawit. Apalagi, sudah berbagai kebijakan silih berganti diterapkan.

Menanggapi tudingan tersebut, Lutfi menegaskan bahwa pemerintah tak menyerah untuk menyelesaikan permasalahan komoditas pangan saat ini, khususnya terkait minyak goreng.

Ia membantah berbagai kebijakan yang belum mampu menyelesaikan permasalahan minyak goreng dianggap sebagai bukti kalahnya pemerintah menghadapi pengusaha-pengusaha minyak goreng.

"Tidak ada yang kita kalah dengan pengusaha. Saya jamin saya tidak bisa diatur oleh pengusaha-pengusaha. Tetapi kita berjuang untuk bisa menyelesaikan masalah distribusi ini," katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR, dikutip Jumat, 18 Maret.

Dengan berapi-api, Lutfi mengatakan bahwa pemerintah tidak kalah dengan pengusaha. Bukti tak kalahnya pemerintah dari pengusaha disebutnya lewat tarif ekspor yang dinaikkan untuk menjaga pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam negeri dan membiayai subsidi minyak goreng curah melalui Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000 per liter.

Sekadar informasi, subsidi minyak goreng curah berasal dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Sumber dana BPDP-KS berasal dari tarif ekspor CPO.

Pemerintah, kata Lutfi, akan menaikkan tarif ekspor dari 375 dolar AS per ton menjadi 575 dolar AS per ton. Langkah ini diambil untuk menaikkan kemampuan BPDP-KS. Menurut Lutfi, batas atas DP ekspor akan dinaikkan dari 1.000 dolar AS per ton menjadi 1.500 dolar AS per ton.

"Setiap naik 50 dolar-nya mereka mesti bayar 20 dolar. Kalau harganya naik tambah lagi tuh mereka bayarnya. Jadi itu yang kita kerjakan," ucapnya.

"Nilainya 120 per ton, mereka mesti bayar 200 dolar per ton jadi kalau dikalikan 34 juta artinya nilainya ini setara dengan 7 miliar dolar. Jadi sama dengan Rp110 triliun. Jadi ini yang mesti diberikan dari pengusaha untuk bisa disubsidi (minyak goreng curah) daripada kegiatan yang kita kerjakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia," sambungnya.

Lebih lanjut, Lutfi mengatakan alasan mengapa kebijakan domestic market obligation (DMO) tak lagi diberlakukan. Kata dia, hal tersebut agar pengusaha CPO memilih menyuplai ke dalam negeri ketimbang ke luar negeri. Apalagi, mengingat bea keluar ekspor ditingkatkan.

"Begitu dikenakan 575 dolar, kita tidak perlu lagi DMO karena kenapa? Karena menjual di dalam negeri akan jauh menguntungkan daripada ekspor," ucapnya.

Dikomplain pengusaha

Usai rencana kenaikan tarif ekspor sampai ke telinga pengusaha, Lutfi mengaku mendapat komplain. Kata dia, para pengusaha mengeluhkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan ekspor CPO ke luar negeri.

"Mereka sudah telepon saya. Mereka mengatakan 'kok tinggi sekali biayanya'. Dalam hati saya 'tidak nurut, ini yang kita kerjakan untuk bangsa Indonesia," ucapnya.

Menurut Lutfi, dengan adanya kenaikan tarif ekspor maka keuntungan yang akan pengusaha dapat dipotong oleh pemerintah melalui levy dari 1.000 flat menjadi 1.500 flat.

"Jadi mereka itu kepotongnya banyak. Buat mereka ini sesuatu yang sulit juga. Bukan sesuatu yang menyenangkan. Tapi kita bikin ini supaya berat sama dipikul, ringan sama dijinjing," katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai keputusan pemerintah menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar, bukan hanya menunjukkan kegagalan mengendalikan harga dan pasokan, namun itu juga menunjukkan pemerintah lemah dihadapan kartel pangan.

Menurut Amin, pemerintah tidak mampu menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri dan kemudian menyerah pada kemauan kartel pangan setelah drama minyak goreng yang merugikan rakyat selama enam bulan terakhir.

Lebih lanjut, Amin menilai tidak ada jaminan tidak terjadi kelangkaan minyak goreng curah di pasar tradisional berkaca pada pengalaman terkait ketidakmampuan pemerintah mengontrol harga dan pasokan selama ini.

"Wibawa pemerintah jatuh, dan ini bisa menjadi preseden buruk bahwa kartel bisa dengan mudah mendikte pasar pangan," kata Amin, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Kamis, 17 Maret.