JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meminta maskapai pelat merah untuk menjajaki pengadaan pesawat dengan produsen pesawat asal AS, Boeing. Rencana ini, berangkat dari Indonesia yang kekurangan armada pesawat.
Adapun maskapai pelat merah yang dimaksud adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Citilink Indonesia, dan PT Pelita Air Service.
Erick bilang idealnya pesawat di Indonesia berada di angka 700 unit. Namun, setelah pandemi COVID-19 jumlah pesawat di Indonesia mengalami penurunan hingga tersisa sekitar 390 armada.
Kondisi tersebut juga disampaikan Erick Thohir secara langsung kepada pihak Boeing saat pertemuan bilateral dengan Asian American Chamber of Commerce hari ini di Kantor Kementerian BUMN.
“Kita mendorong kerja sama ini. Bahkan salah satunya kita terbuka menambah jumlah pesawat terbang melalui Boeing. Tapi bagaimana roadmap pengadaannya lalu leasing-nya dan macam-macamnya,” katanya dalam konferensi pers di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis, 5 Desember.
Terkait dengan pengadaan armada pesawat ini, Erick mengaku akan berdiskusi dengan bank ekspor impor AS, Exim Bank maupun dengan pihak lessor pesawat.
Namun, belum ada kepastian kapan jumlah armada maupun nilai pengadaannya yang disepakati antara maskapai BUNN dengan Boeing. Sebab, hal ini menyesuaikan peta jalan dari masing-masing maskapai dan produsen.
“Saya tawarkan bagaimana misalnya Exim Bank-nya, leasing company-nya bisa bernegosiasi langsung dengan Garuda, Citilink, dan Pelita. Tetapi sesuai dengan roadmap masing-masing maskapai, itu yang kita lakukan,” tuturnya.
BACA JUGA:
Erick juga bilang akan mengajak Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani untuk memperpancar rencana kerja sama dengan Boeing ini.
Tak hanya dengan Boeing, Erick mengaku juga terbuka untuk bekerja sama dengan produsen pesawat dari negara lainnya. Seperti Airbus dan Comac agar jumlah armada pesawat di Indonesia tidak stagnan.
“Jadi ya solusi-solusi ini mau tidak mau harus bekerja sama apakah dengan Airbus, Boeing, ataupun Comac dari China, ataupun pesawat dari Rusia, yang mungkin biasa bikin ini. Kita harus karena kita tidak mungkin 10 tahun lagi terbelenggu dengan jumlah pesawat yang sama. Ini sangat membahayakan, karena kita sendiri merupakan negara kepulauan,” ucapnya.