Bagikan:

JAKARTA – Ekonom Bright Institute Awalil Rizky, menyampaikan bahwa Bank Indonesia (BI) merupakan otoritas yang menjalankan kebijakan moneter dan bersifat independen sejak tahun 1999, di mana tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas nilai Rupiah.

Selain itu, BI juga memiliki peran penting dalam memelihara stabilitas sistem pembayaran dan sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

"Stabilitas nilai Rupiah dijelaskan sebagai kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah. Kestabilan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil. Sedangkan kestabilan nilai tukar diukur dari nilai rupiah terhadap mata uang negara lain," ujarnya dalam keterangannya, Rabu, 16 April.

Awalil menjelaskan bahwa salah satu instrumen utama kebijakan moneter BI adalah Operasi Moneter (OM), yang bertujuan mendukung pencapaian stabilitas moneter melalui intervensi di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi.

Adapun, OM dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) tenor overnight, agar tetap bergerak di sekitar suku bunga kebijakan BI, yaitu BI-Rate, serta menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah sesuai dengan nilai tukar fundamentalnya.

Awalil menjelaskan pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah dilakukan melalui dua cara yaitu absorpsi (penyerapan) likuiditas dan injeksi (penambahan) likuiditas.

Sedangkan untuk menjaga kestabilan nilai tukar, BI juga melakukan intervensi di pasar valas melalui berbagai transaksi, baik dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka maupun Standing Facilities.

Awalil menyampaikan Operasi Moneter Bank Indonesia dilakukan secara konvensional dan ada yang berdasarkan prinsip syariah.

"Keduanya memiliki berbagai instrumen kebijakan, baik yang absorsi ataupun injeksi. Sejauh ini nilai yang konvensional jauh lebih besar, selalu mencapai kisaran lebih dari 90 persen," tuturnya.

Instrumen OM konvensional yang bersifat absorpsi atau untuk menyerap likuiditas perekonomian, terutama dari perbankan, antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Term Deposit (TD), Reverse Repo SBN, Sertifikat Deposit Bank Indonesia (SDBI), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan Deposit Facility.

Sementara untuk instrumen syariah meliputi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Sukuk BI, Reverse Repo SBSN, dan Fasilitas Simpanan BI Syariah (FASBIS).

Adapun instrumen konvensional yang bersifat injeksi atau untuk menggelontorkan likuiditas, terutama melalui perbankan di antaranya Repo dan Lending Facility, sedangkan versi syariahnya adalah Repo SBSN dan Financing Facility.

Menurut Awalil, selama lebih dari dua dekade terakhir, kebijakan OM BI cenderung bersifat menyerap likuiditas, tercermin dari nilai neto operasi moneter yang bersifat absorptif dan jumlah instrumen absorpsi yang lebih banyak dibandingkan instrumen injeksi.

"Arah kebijakan demikian makin tampak selama lima tahun terakhir, dan melonjak pada tahun 2024," jelasnya.

Data menunjukkan, posisi OM absorptif naik drastis dari Rp297,49 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp694,01 triliun di 2020, dan Rp881,27 triliun di 2021. Meski sedikit menurun pada 2022 dan 2023, namun kembali melonjak menjadi Rp945,56 triliun pada akhir 2024.

Per 31 Maret 2025, nilai OM absorptif masih tinggi, mencapai Rp922,58 triliun. Namun, beberapa instrumen tidak lagi digunakan atau dalam kondisi nihil.

Instrumen bernilai besar antara lain SRBI sebesar Rp891,13 triliun, Repo senilai Rp165,31 triliun, Deposit Facility sebesar Rp103,49 triliun, dan Sukuk BI sebesar Rp64,48 triliun.

Awalil menjelaskan, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) adalah surat berharga berdenominasi Rupiah dengan jangka pendek, diterbitkan BI dan dijamin dengan underlying asset berupa surat berharga milik BI.

"SRBI yang kini masih beredar bertenor 6, 9, dan 12 bulan. Sekitar 25 persen nya dimiliki oleh pihak asing," ucapnya.

Menurut Awalil, narasi kebijakan BI menunjukkan bahwa tujuan utama dari operasi moneter adalah menjaga inflasi dan stabilitas keuangan sehingga ini juga menjadi salah satu penyebab rendahnya inflasi dalam beberapa tahun terakhir.

"Akan tetapi, ekonom bisa mengartikan sebagai kurangnya dorongan pada pertumbuhan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja. Ekonom pun dapat mengkritik kebijakan ini yang membuat bank menjadi malas menyalurkan ke sektor riil," imbuhnya.

Ia juga menyoroti meningkatnya kepemilikan BI atas Surat Berharga Negara (SBN), yang per 10 April 2025 mencapai Rp1.547,41 triliun atau 24,62 persen dari total.

Menurutnya hal ini menunjukkan BI banyak memberi utang kepada pemerintah, namun juga memiliki kewajiban terhadap perbankan dan investor asing.

"Bisa saja ditafsirkan bahwa BI menilai uang lebih berguna disalurkan ke Pemerintah dibanding ke sektor riil melalui Bank. Secara teknis tampak pula bahwa BI mengeluarkan tambahan biaya operasi moneter, karena hasil dari SBN Pemerintah lebih rendah dari yang harus dibayar untuk SRBI," jelasnya.

Awalil menambahkan, sejauh ini stabilitas keuangan tetap terjaga, ditandai oleh inflasi rendah dan yield SBN yang terkendali.

Selain itu, harga SBN juga berpengaruh pada solvabilitas bank, serta dana sosial seperti BPJS dan dana haji.

Namun, ia menilai bahwa kondisi tersebut menyempitkan ruang kebijakan moneter dan fiskal. Di tengah meningkatnya ketidakpastian dan pelemahan ekonomi, pemerintah dan BI seharusnya bersikap lebih countercyclical.

"Pada saat ketidakpastian meningkat dan perekonomian cenderung melemah, mestinya otoritas ekonomi (Pemerintah dan Bank Indonesia) lebih bersikap countercyclical. Namun, daya untuk itu cenderung makin lemah," tuturnya.

Awalil melihat bahwa melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah dan bahkan kelas menengah diperparah oleh arah kebijakan tersebut dan lada saat bersamaan, kondisi keuangan kelas menengah atas dan kelas atas dapat saja lebih diuntungkan.

"Mereka lah yang memiliki uang untuk dialokasikan pada berbagai instumen investasi keuangan yang memberi hasil makin tinggi," tegasnya.