JAKARTA - Kasus stunting masih menjadi tantangan serius di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Meskipun daerah ini dikenal memiliki sumber daya pangan yang melimpah, angka stunting tetap tinggi akibat kurangnya perhatian terhadap pola asuh dan asupan gizi anak.
Kebiasaan orang tua yang lebih fokus pada pekerjaan, terutama di sektor pertanian, turut berkontribusi terhadap permasalahan ini.
Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Ende, Maria A. Eka, mengungkapkan bahwa banyak orangtua di Kecamatan Datusoko meninggalkan anak-anak mereka selama berminggu-minggu saat musim tanam.
Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup, baik dari segi pengasuhan maupun kecukupan gizi.
“Para petani di sana menghabiskan hingga lima pekan di ladang saat musim tanam. Anak-anak yang mereka tinggalkan biasanya diasuh oleh kakek, nenek, atau kerabat lainnya, tetapi asupan nutrisi mereka sering kali tidak diperhatikan,” kata Maria dalam acara sosialisasi Program AMPUH (Aksi Mencegah Malnutrisi dengan Pangan Telur Harian) yang digagas Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI).
Padahal, menurutnya, secara teknis, satu keluarga hanya membutuhkan waktu sekitar satu pekan untuk menyelesaikan proses penanaman padi. Namun, karena kebiasaan gotong-royong dalam kelompok, mereka baru kembali ke rumah setelah seluruh anggota kelompok menyelesaikan pekerjaannya.
Kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan gizi anak yang berlangsung selama berbulan-bulan dalam setahun, mengingat ada dua hingga tiga musim tanam dalam satu tahun. Akibatnya, meskipun Kabupaten Ende memiliki potensi pangan yang baik, kasus gizi buruk tetap tinggi.
Berdasarkan data terbaru dari Dinas Kesehatan Ende, terdapat 1.242 kasus stunting dari total 15.000 anak, atau sekitar 7,9 persen. Meski angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 8,2 persen, permasalahan ini masih memerlukan perhatian serius.
Pemerintah setempat telah berupaya meningkatkan asupan gizi bagi anak-anak dengan mendorong konsumsi protein yang lebih tinggi dan menerapkan program konvergensi stunting di 21 kecamatan, 278 desa, serta 26 puskesmas. Sejak Agustus 2023, reformasi layanan kesehatan juga diterapkan dengan memperluas cakupan posyandu melalui konsep Integrasi Layanan Primer (ILP).
BACA JUGA:
Maria mengungkapkan cakupan layanan posyandu di Ende hampir mencapai 100 persen, dengan partisipasi anak mencapai 92,3 persen. Namun, tantangan dalam pendampingan orang tua masih menjadi pekerjaan rumah.
“Kita butuh pendekatan yang lebih komprehensif, bukan hanya melalui sosialisasi gizi, tetapi juga melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum dan relawan. Kita juga harus menangani permasalahan sosial yang berkaitan dengan stunting, seperti pernikahan dini dan kehamilan di luar nikah,” jelasnya.
Kasus pernikahan dini dan kehamilan akibat hubungan inses semakin marak di Ende. Maria menyebut bahwa sebagian dari 7-8 persen anak yang tidak tercatat di layanan posyandu berasal dari kelompok ini. Banyak dari mereka merasa malu atau terbebani secara moral, sehingga enggan membawa anak mereka ke posyandu untuk mendapatkan pemantauan gizi.
Untuk mengatasi masalah ini, Dinkes Kabupaten Ende menyambut baik berbagai inisiatif dari Yayasan WVI, seperti program pos gizi untuk pemantauan anak, pendampingan masyarakat di posyandu, serta upaya menciptakan kemandirian pangan melalui dapur gizi.
Salah satu program inovatif yang diterapkan adalah pencegahan malnutrisi dengan telur, yang tidak hanya memberikan asupan protein langsung, tetapi juga membagikan bibit ayam petelur kepada masyarakat. Dengan cara ini, warga bisa mendapatkan sumber protein yang berkelanjutan.
“Pendampingan sangat diperlukan dalam penanganan stunting. Oleh karena itu, perlu melibatkan berbagai pihak dalam satu pendekatan terpadu yang kami sebut sebagai konvergensi stunting,” tutup Maria.