MEDAN - Sifat mandiri merupakan perilaku yang diharapkan bagi setiap orang. Ketika bisa melakukan banyak hal sendiri tanpa bergantung pada orang lain, tentu akan membuat lebih produktif. Namun, psikolog dan konselor menunjukkan ada situasi traumatis di masa lalu sehingga membuat seseorang memilih hidup terlalu mandiri.
Perlu diketahui, menurut American Psychological Association (APA) dilansir PsychCentral, Rabu, 27 Juli, trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa yang mengerikan. Ini melibatkan insiden yang membuat seseorang merasa terisolasi, seperti kecelakaan, penyerangan, peristiwa berulang atau pelecehan berkelanjutan, hingga diskriminasi.
BACA JUGA:
Trauma Akrab dengan respons Melawan
Seseorang yang mengalami trauma, mereka akrab dengan gagasan yang dalam psikologi disebut sebagai respons melawan, lari, atau membekukan. Ketika mengalami ini, sistem saraf merespons agar mampu bertahan hidup. Umumnya diikuti gejala seperti cemas, panik, depresi, penarikan sosial atau suka menyendiri, dan gejala fisik seperti sakit kepala dan sakit perut.
“Respons trauma dapat berupa fisik, mental, emosional, atau kombinasi ketiganya,” terang psikolog Dr. Nekeshia Hammond.
orang yang berlalu mandiri mungkin berkaitan dengan respons trauma
Ilustrasi orang yang terlalu mandiri mungkin berkaitan dengan respons trauma (iStockphoto)
Orang yang terlalu mandiri, mereka memilih untuk tidak bergantung pada semua orang meskipun dapat berdampak negatif baginya. Jelas konselor dan penulis Dr. Joanne Frederick, terlalu mandiri muncul sebagai perspektif ‘aku’ versus ‘kita’ yang ditandai dengan mengambil terlalu banyak tugas, menolak bantuan ataupun membantu, dan bermasalah ketika membagi tugas.
Ahli mengaitkan antara hiper-independensi atau terlalu mandiri dengan tidak dapat mempercayai orang lain sehingga hanya dapat mengandalkan diri sendiri. Sifat ini mungkin telah berkembang sebagai upaya melindungi diri dari bahaya di depan nanti. Apabila hiper-independensi berkaitan dengan trauma masa lalu, kemungkinan berkembang tanpa disadari. Sehingga merasa tak ada masalah dan berjalan begitu saja.
“Terkadang, tubuh dan pikiran secara alami menemukan cara untuk bertahan dari trauma itu. Seluruh idenya adalah, ‘Saya perlu melindungi diri sendiri, agar tidak terjadi lagi pada saya’,” jelas Frederick.
Trauma juga membuat seseorang sering dalam keadaan waspada tinggi. Hammond mengatakan bahwa mungkin ada hubungan antara tingkat kewaspadaan dan tidak percaya terhadap orang lain. Untuk mengatasi ketegangan dalam diri yang bisa memicu kelelahan emosional maupun kelelahan fisik, bisa dengan mengikuti saran dari ahli.
Pertama, setiap orang tidak ingin dikecewakan. Jika Anda takut kecewa, Anda tak sendiri. Luka emosional membutuhkan waktu untuk sembuh, dan sah bila memiliki keraguan setelah mengalami masa rentan setelah trauma. Tetapi perlu diingat dan direfleksikan kembali, melakukan semuanya sendiri bisa melelahkan. Jadi cobalah menerima dukungan sekecil apapun karena bisa positif mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Kedua, tak apa meminta bantuan orang lain karena tidak akan mempengaruhi kemandirian atau kemampuan Anda secara keseluruhan. Setiap orang kadang membutuhkan bantuan agar tetap merasa didukung support system yang menguatkan.
Ketiga, jika mengalami trauma atau gangguan stres pascatrauma (PTSD), psikoterapi dapat membantu mengatasi pikiran, perasaan, dan perilaku yang dihasilkan dari pengalaman traumatis.
Itulah penjelasan tentang kaitan antara perilaku terlalu mandiri dan pengalaman traumatis. Kata Hammond untuk memotivasi, setiap orang memiliki cara masing-masing dalam mengelola trauma dan mengembangkan kemampuan koping. Tetapi penting untuk diketahui bahwa memiliki respons yang kuat terhadap trauma tidak berarti ‘lemah’.
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul:
Selain Efek Buruk Terlalu Mandiri, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI Sumut, Berita Sumatera Utara Terkini!