Mengenal Bentuk Komunikasi yang Toksik dan Tak Produktif dalam Hubungan Berpasangan
Ilustrasi komunikasi yang toksik dalam hubungan berpasangan (Freepik/Drazen.zigic)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Berkomunikasi secara sehat tentang perasaan dapat menghasilkan ikatan yang langgeng dan hangat. Tetapi tak banyak pasangan yang menyadari sebaliknya, komunikasi yang toksik.

Berkomunikasi membutuhkan keterampilan. Dengan begitu, komunikasi dalam hubungan berpasangan senantiasa sehat dan menyokong kebahagiaan setiap orang yang berkomitmen. Karena cara mengkomunikasikan bahkan pada situasi yang sulit perlu keterampilan, maka kenali batasan-batasan yang mengarah pada perilaku toksik. Misalnya, bagaimana cara Anda memberi tahu pasangan bahwa ia telah membuat Anda marah? Tentu akan sangat dilematis. Kalau-kalau mengucapkan secara salah, bisa membuat situasi tak semakin jernih malah memperkeruh.

Menurut psikolog klinis Jonice Webb, Ph.D., berikut komunikasi yang tidak efektif dan mengarah pada perilaku toksik yang perlu dikenali dan dihindari.

1. Pasif-agresif

Tindakan pasif-agresif sebenarnya bukan komunikasi untuk membalas dendam. Misalnya suatu waktu pasangan Anda mengabaikan Anda saat acara pesta. Kemudian Anda berpikir untuk memberi pelajaran kepada pasangan.

komunikasi yang toksik dalam hubungan berpasangan
Ilustrasi komunikasi yang toksik dalam hubungan berpasangan (Freepik/stefamerpik)

Agresi  yang pasif pada dasarnya mencoba untuk memperbaiki dua kesalahan. Pertama kesalahan diri sendiri dan kesalahan pasangan. Tetapi seiring waktu, cara komunikasi yang bersifat pasif-agresif ini hanya membebani hubungan dengan hal-hal negative.

2. Agresif

Agresif contohnya berkomunikasi dengan cara menuduh dan menyerang pada waktu yang tidak tepat, dilansir Psychology Today, Jumat, 16 Juni. Kata-kata, nada, dan pilihan untuk mengungkapkan pikiran tentang masalah, harus diatur secara bijak. Karena jika pasangan merasa diserang, terluka, dan mungkin malu, maka tujuan untuk mengkomunikasikan masalah akan gagal justru malah menambah masalah.

3. Sarkastik

Berkomunikasi secara sarkas, seperti tusukan yang datang dari samping. Seseorang yang menerimanya akan merasa dituduh, diserang, dan motif untuk pembelaan akan meningkat. Kedua belah pihak, justru tak menyelesaikan masalah karena niat komunikasi tak mencapai tujuannya.

Webb menerangkan, sebagai seorang terapis ia menemukan banyak pasangan sangat dipengaruhi oleh cara penanganan emosi di rumah pada masa kecil mereka. Ini memengaruhi cara mereka berkomunikasi dengan pasangannya. Beberapa keluarga mengatasi perasaan anggotanya secara terbuka dan langsung dengan menunjukkan kenyamanan dan mendiskusikan masalah serta emosi. Ada pula keluarga yang berkomunikasi secara tidak nyaman. Mereka lalai secara emosional mengajari anak-anak mereka keterampilan komunikasi emosi.

Tambah Webb, keterampilan komunikasi yang baik, banyak keuntungannya. Tidak hanya membantu Anda jujur satu sama lain tetapi juga memungkinkan pasangan terus mengenal satu sama lain lebih baik.