Bincang Bersama Eet Sjahranie Edane tentang Nasib Musisi Tanah Air
ILustrasi konser musik. Roger Waters dalam tur konser "Us and Them" (Instagram/@rogerwaters)

Bagikan:

MEDAN - Kita telah melihat bagaimana YouTube-core memengaruhi proses kurasi dalam penyelenggaraan gelaran musik lewat artikel "Kurasi Gelaran Musik Itu Bernama YouTube-core".

Masih bagian dari Seri Tulisan khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik". Lewat artikel ini kita akan melihat dari sisi musisi, bagaimana mereka memilih panggung mana yang ingin mereka tempati. Namun, tentu saja, keistimewaan ini hanya berlaku bagi band besar di negeri luar. Bagi band lokal, boro-boro.

Eet Sjahranie kami pilih sebagai teman berbincang. Malam itu, ia mengundang kami ke kediamannya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Eet jelas pilihan tepat. Sejak tahun 90-an, ia telah malang melintang di panggung musik. Jumlah konser atau festival yang ia jajaki pun bukan main banyaknya. Jumlah yang tak lagi ia ingat kala kami tanyai.

Pentolan band rock legendaris Edane itu tampak antusias ketika kami membuka obrolan tentang Lokatara Fest 2019 yang kacau ditinggal enam headliners-nya. Bagaimana tidak, konser dan festival musik adalah hidup Eet.

Festival Musik sebagai Industri

Perkembangannya amat penting bagi dia. Meski Eet tak teramat kaget ketika kami menjabarkan sejumlah konser dan festival lain yang mengalami perkara serupa Lokatara Fest 2019.

Sederhana saja. Sebutlah konser dan festival musik sebagai industri. Maka, industri itu baru saja dibangun di Tanah Air sejatinya.

Banyak persoalan pelik yang perlu dipelajari oleh industri ini. Soal penjajahan oleh band-band luar negeri, salah satunya.

Bukan pembandingan tak berdasar. Eet sadar, industri musik luar negeri lebih dulu maju. Namun, membangun industri gelaran musik dengan semangat inferior jelas salah.

Dan persoalan ini terjadi di depan matanya. Dari panggung ke panggung ia mentas, Eet kerap melihat bagaimana penyelenggara gelaran musik lokal kerap memaksa musisi dalam negeri berkompromi dengan kebutuhan mereka di atas panggung. "Contoh, kita lah. Edane itu riders-nya Marshall dua, head buat kabinet masing-masing dua," tutur Eet, Kamis, 28 November.

"Nah, sering tuh. Ketika sampai tempat, penyelenggara bilang, 'Mas, Marshallnya cuma ada satu, sisanya ini, itu,' begitu. Dan kita kan enggak bisa juga tuh protes, 'Gue maunya Marshall, titik,' gitu. Enggak bisa kalau kita, karena posisinya sekarang industri membuat kita (band) yang seakan butuh panggung," tambahnya.

Situasi seperti ini yang bagi Eet tak sehat. Apalagi dengan banyaknya penyelenggara musik yang menawar musisi dalam negeri dengan harga luar biasa rendah. Logika pasar semacam ini amat disayangkan.

Sebab, kondisi ini menempatkan musisi sebagai pihak yang bergantung pada penyelenggaraan gelaran musik. Padahal, menurutnya begitu banyak festival atau acara musik yang pada awal kiprahnya bergantung pada band-band lokal.

"Padahal dulunya (penyelenggara) merengek minta kita bantu main di event itu ... Lalu, mereka misalnya nego. Harga kita ceban, misalnya ditawar goceng karena mereka merasa kita yang butuh panggung. Sebenarnya nawar itu wajar saja. Tapi kalau dalam kondisi kayak gitu, kalau awal-awal lo minta tolong, lain ceritanya, bos. Dan banyak yang sekarang kayak gitu," tutur Eet.

Artikel ini pernah dimuat lengkap di VOI.ID dengan judul: Beda Nasib Musisi Lokal dan Musikus Dunia Tegakkan Idealisme di Atas Panggung.

Selain Bincang Bersama Eet Sjahranie Edane, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!