Kaum Bumiputra Menentang Borgol Tangan Polisi Hindia Belanda
Departemen kepolisian pada masa kolonial Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kehadiran polisi tak pernah dianggap efektif di era Hindia Belanda. Alih-alih profesional, polisi justru gemar mempertontonkan boroknya. Mereka membela siapa yang yang bayar dan korup. Kritikan pun muncul di mana-mana.

Apalagi polisi membeda-bedakan perlakuan antara tahanan Eropa dan bumiputra. Kaum bumiputra diperlakukan bak penjahat luar biasa. Mereka diborgol dan paksa berjalan kaki ke pangadilan. Tindakan borgol tangan itu kemudian jadi prosedur standar polisi Hindia Belanda yang ditentang kaum bumiputra.

Kemampuan pemerintahan Hindia Belanda dalam menjaga ketertiban terbatas. Mereka hanya mampu menghadirkan penjaga keamanan, polisi di kota-kota besar saja. Dari Batavia (kini: Jakarta) hingga Surabaya.

Anggota polisi pun banyak direkrut dari kaum bumiputra. Orang Eropa jarang tertarik jadi polisi karena gaji yang ditawarkan terlalu kecil. Keterbatas itu membuat polisi hanya dihadirkan terbatas di pemukiman orang Eropa (utamanya Belanda) saja.

Sisanya, di luar pemukiman Eropa, empunya kuasa mempercayakan aparat kampung yang sifatnya sukarela. Fakta itu membuat urusan keamanan kota tak pernah beres. Alias, pemberantasan kejahatan tak pernah efektif.

Polisi pada masa Hindia Belanda lebih banyak didominasi kaum bumiputra ketimbang orang Eropa. (Wikimedia Commons) 

Kecemburuan sosial pun melingkupi kaum bumiputra. Sebab, polisi cenderung bekerja kepada mereka yang bayar dan pejabat Hindia Belanda. Kecenderungan itu membuat kaum bumiputra ogah berurusan dengan polisi.

Mereka kerap memilih mencari alternatif lainnya dibanding terpaksa ke polisi. Sederet kaum bumiputra yang kritis melihat kondisi itu sebagai perlakuan tak manusiawi. Mereka berharap kepolisian Hindia belanda segera berbenah dan berkerja untuk semua golongan.

“Meskipun begitu, gaji anggota kepolisian Eropa tidaklah besar. Namun, menurut pers, mereka sadar lalu mencari kompensasi penerimaan lain yang ilegal, seperti mencomot hasil rampokan yang tersita, penyogokan, dan berbagai jenis korupsi lain.”

“Pemerintah kolonial memang cenderung mencari fungsionaris kepolisian yang menunaikan kewajiban dan bisa bersosialisasi dengan baik, tetapi terbentur situasi keuangan saat itu. Rendahnya gaji terbukti menarik peminat yang tidak kompeten,” terang Margreet van Till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018).

Borgol Tangan

Tidak kompetennya kepolisian Hindia Belanda terlihat juga dari penangan mereka terhadap tahanan. Nyatanya, polisi kerap membedakan perlakuan antara tahanan Eropa dan tahanan bumiputra. Tahanan Eropa bak diistimewakan oleh polisi.

Pada saat menuju pengadilan, misalnya. Para tahanan Eropa diangkut dari penjara ke pengadilan dengan menggunakan kereta tanpa borgol. Beda hal dengan tahanan bumiputra. Mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi. Mereka kerap direndahkan. Apalagi urusan membawa tahanan dari penjara ke pengadilan.

Para tahanan bumiputra itu diborgol tangan dan dipaksa berjalan dari penjara dengan dikawal oleh polisi bumiputra. Perlakuan itu dilanggengkan karena kaum bumiputra dianggap licik lalu sering berusaha kabur. Narasi menggunakan borgol tangan terus dilanggengkan kepada tahanan bumiputra apapun kejahatannya. Semua dipukul rata harus diborgol.

Borgol tangan itu diyakini polisi sebagai prosedur standar untuk tahanan bumiputra. Tidak boleh tidak. Apalagi empunya kuasa menganggap langkah itu efektif. Borgol tangan pun menjelma bak suatu tradisi. Yang mana, ada tahanan bumiputra, mereka wajib diborgol ketika ke pangadilan.

Perlakuaan itu mendapatkan protes di era pergerakan nasional. Standar borgol tangan dianggap tak manusiawi dan cenderung rasis karena tahanan Eropa tak diperlakukan sama. Protes itu pernah dilanggengkan oleh tokoh pers, Mas Marco Kartodikromo.

Para tahanan dengan tangan dirantai pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

“Borgol tangan adalah prosedur standar bagi tahanan pribumi untuk mencegah mereka berusaha kabur ke jalanan Batavia yang sibuk. Mereka belum pernah mendengar seorang tahanan mengeluh sebelumnya. Meski begitu, tergerak oleh protes Mas Marco, pejabat Belanda, Uhlenbeck menginstruksikan kepada penuntut umum, Du Cloux untuk tidak meneruskan adat ini, tetapi hanya untuk kasus-kasus tertentu.”

“Pribumi yang dituduh atas pelanggaran terhadap undang-undang pers dan mereka yang harus diadili dengan kaki-tangan Eropa di masa depan harus diangkut dengan kereta. Du Cloux harus patuh, tetapi ia menyarankan agar pencuri dan perampok biasa harus tetap diborgol. Perkecualian bisa dibuat untuk pribumi terkemuka dan pribumi beradab dan yang lebih terpelajar, dan semua perempuan,” ujar Kees Van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914 – 1918 (2013).