Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Perketat Sensor Film di Nusantara dalam Sejarah Hari Ini, 25 Oktober 1940
Penonton di Bioskop Rex, Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda sekitar tahun 1940. (kitlv.nl)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 83 tahun yang lalu, 25 Oktober 1940, pemerintah kolonial Hindia Belanda memperketat sensor film di Nusantara. Keputusan itu dituangkan dalam Ordonasi Film 1940. Salah satu narasinya adalah menerangkan pemutaran film harus seizin Belanda.

Sebelumnya, kehadiran pertunjukan film ke Nusantara mengubah segalanya. Hiburan itu langsung menjadi primadona. Film-film dari Amerika Serikat jadi yang paling banyak ditonton. Utamanya, film yang bercerita jagoan lawan penjahat.

Hiburan di era pemerintahan Hindia Belanda bejibun. Khalayak dengan bebas memilih hiburan yang sesuai keinginan dan kantongnya. Alih-alih hanya duduk-duduk di taman, seni hiburan sudah beragam dari tonil hingga sandiwara.

Kondisi itu membuat orang di Nusantara lebih terbuka dengan banyak hiburan. Barang siapa ada hiburan baru, niscaya akan langsung jadi buruan. Ambil contoh kala industri perfilman mulai menyentuh Nusantar pada akhir abad ke-19.

Pemutaran film bisu digandrungi semua pihak. Dari orang kaya hingga jelata. Kehadiran hiburan yang kerap disebut rakyat sebagai Gambar idoep pun jadi primadona. Iklan-iklannya muncul di mana-mana. Semuanya menandakan rasa antusias yang tinggi. Bioskop mau tak mau tumbuh subur.

. Potret bioskop era penjajahan Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Keuntungan menjanjikan jadi muaranya. Pengusaha pun mulai mendatangkan banyak film dari luar negeri. Film-film yang berasal dari Amerika Serikat, misalnya. Kedatangan film dilanggengkan tanpa ada fungsi kontrol.

Seperangkat aturan belum dibuat. Pemerintahan pun belum menganggap film yang ada sebagai biang masalah. Namun, perlahan-lahan film yang masuk mulai beragam. Film bertema jagoan yang kerap main hakim sendiri jadi yang paling banyak.

Narasi itu membuat Belanda terganggu. Empunya kuasa menganggap film itu dapat memberikan pengaruh buruk bagi kuasa Belanda. Mereka khawatir kaum bumiputra termotivasi melanggengkan pemberontakan dan melawan Belanda.

Aturan pun disiapkan. Ordonasi Film 1916 dilanggengkan. Peraturan itu mengharuskan pendirian lembaga komisi sensor film. Lembaga ini isi oleh lima orang, termasuk satu ketua.

“Motivasi yang menyebabkan munculnya kebijakan pemerintah pada 1916 ini dikarenakan banyaknya film cerita bisu yang masuk ke Hindia-Belanda. Isi dan gambarnya memperlihatkan perilaku hidup orang barat yang penuh dengan perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan, dan kebebasan seks,” ungkap M, Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia-Belanda (2010).

Dua tentara Belanda berfoto di depan poster film pada sebuah gedung bioskop. (Wikimedia Commons)

Peraturan yang melanggengkan sensor film berjalan tak efektif. Keterbatasan ruang gerak komisi sensor film jadi muaranya. Padahal, arus film barat yang masuk mulai menggeliat. Pun pemutaran film telah banyak hadir di kota-kota besar di Nusantara.

Pemerintah pun ambil sikap. Aturan yang awalnya dibuat tahun 1916 mulai disempurnakan. Aturan itu langgeng dikenal sebagai Ordonasi Film 1940 pada 25 Oktober 1940. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ikut memberi restu.

Alhasil, aturan itu mengatur cukup lengkap urusan pertunjukan film di Nusantara. Dari penyelengaraan pertunjukannya hingga pengimpor. Barang siapa yang melawan ketentuan Belanda, maka siap-siap akan dihukum penjara atau denda.

“Peraturan ini berisi tentang film, pertunjukan film, impor dan pengimpor yang tertuang dalam 11 bab dan 34 pasal yang dilengkapi dengan enam peraturan pemerintah sebagai pelengkap. Aturan yang paling mencolok adalah tidak adanya satu pertunjukan film yang tanpa izin penguasa (komisi film). Pelanggar pun dikenal hukuman enam bulan dan denda 5 ribu gulden.”

“Adapun syarat lolos pengujian sangat kabur: tidak berlawanan dengan kesusilaan baik, bertentangan dengan kepentingan umum dan berpengaruh buruk pada segi lain. Hal ini didasarkan kepada kecurigaan akan film Indonesia yang dianggap memiliki potensi buruk terhadap perkembangan sosial politik sehingga pemerintah Belanda tidak membiarkan adanya peluang sekecil apapun untuk membiarkan tanah jajahan merdeka,” ungkap Novi Kurnia dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik berjudul Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman (2006).