Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) lihai mengemas citra. Mereka tak ingin pemerintahan Orba dinilai biasa-biasa saja. Empunya kuasa pun bertindak mengubah segala. Sejarah utak-atik. Kisah kepahlawanan dipertontonkan secara berlebihan. Tidak sesuai fakta pun tak masalah.

Narasi itu dikuatkan pula dengan andil besar Perum Produksi Film Negara (PFN) -- Kini jadi salah satu BUMN. PFN jadi alat propaganda paling mujarab era Orba. Mereka hanya mendanai dan membuat film sesuai pesanan Orba. Urusan lebih banyak fiksi daripada fakta bukan masalah.

Pencintraan kerap jadi modal penting demi langgengnya kekuasaan. Soeharto dan Orba mengamininya. Mereka bahkan menganggap pencitraan adalah hal yang tak bisa dianggap sepele. Pola menjaga citra positif jadi alasan segenap rakyat Indonesia mendukung Orba.

Potret studio yang dimiliki oleh PFN di era Orde Lama. (Wikimedia Commons)

Narasi itu membuat Orba terjun lebih dalam untuk mengemas citra. Mereka mulai melakukan kontrol media: televisi, radio, hingga surat kabar. Orba seraya hanya menghendaki berita positif saja terkait pemerintahan.

Barang siapa yang memuat hal negatif akan diperangi. Berita-berita terkait kebesaran Soeharto dan Orba terus memenuhi media massa. Citra positif Soeharto ditebar di mana-mana. Citra itu bak menghilangkan segala macam pemberitaan miring terkait Orba yang represif dan korup.  

Kontrol orba tak hanya sebatas media massa saja. Kontrol Orba sampai masuk ke arah penulisan ulang sejarah bangsa. Segala macam peran Soeharto bak dilebih-lebihkan. Tiada tokoh bangsa lainnya yang boleh lebih menonjol selain dirinya.

PFN pernah memproduksi Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984) yang fenomenal. (Wikimedia Commons)

The Smiling General kerap digambarkan sebagai tokoh yang punya pengaruh di Indonesia. Ragam julukan kepada Soeharto dan programnya tercipta. Ada yang mengenal Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, Bapak Swasembada beras, hingga Pahlawan Penumpas Gerakan 30 September (G30S) 1965.

“Soeharto, anak petani Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu muncul dari balik kabut pada 1966. Dia datang sebagai Semar--tokoh punakawan dalam dunia wayang yang kepadanya Soeharto sering dinisbahkan: sederhana dan murah senyum. Seperti Semar, Soeharto melakukan hal yang bahkan tak bisa ditunaikan oleh para ksatria ketika datang masa-masa kritis."

"Dia dielu-elukan sebagai pahlawan yang sukses menyelamatkan Indonesia dari bencana komunisme meski dengan banjir darah besar sebagai ongkosnya. Juga dari bencana ekonomi akibat hiperinflasi,” tulis Farid Gaban dkk dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Antara Semar dan Don Corleone (1998).

Produksi Film Negara

Ajian pemerintah Orba bukan melulu urusan kontrol media. Soeharto bahkan mencoba memasuki hati rakyat Indonesia lewat politik film. Orba dengan lihai memanfaatkan Perum PFN untuk menyebarkan propaganda sesuai pesanan Orba.

PFN yang notabene hadir untuk memajukan industri perfilman tanah air seakan terjebak menuruti keinginan pemerintah. Mereka ikut andil dalam membiayai dan memproduksi film propaganda Orba. 

Hasilnya sudah pasti memuat cerita yang disesuaikan selera penguasa belaka. Bukan fakta atau nilai positif lainnya. Kondisi itu membuat PFN dikenal jadi corong propaganda pemerintah Orba. Mereka giat sekali dalam memunculkan pesan Soeharto dan Orba sebagai pahlawan bangsa. Ambil contoh kala mencoba menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan penumpas Partai Komunis Indonesia (PKI).

Film propanganda terkait perlawanan terhadap komunisme terus dimunculkan PFN. Dana besar mereka gelontorkan. Film yang disposori PFN pun mencoba mendominasi layar kaca rakyat Indonesia. Film propaganda yang paling terkenal adalah Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984).

Film produksi PFN itu jadi yang paling fenomenal. Seisi Indonesia bak diwajibkan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Padahal, isi filmnya banyak memuat fiksi ketimbang fakta-fakta. Tujuannya sudah jelas untuk mengangkat kepahlawanan Presiden Soeharto melawan PKI.

Gambaran ketokohan Soeharto juga dihadirkan dalam film lainnya buatan PFN. Mulai dari Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan: Operasi Trisula (1986).  Ada pula film terkait kisah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).  Film itu dikenal sebagai Djakarta 1966 (1989).

Gedung Perum Produksi Film Negara (PFN) yang terletak di Jl. Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur pada masa sekarang. (PFN)

Deretan film-film itu hadir dengan narasi PFN jadi sebagai alat propaganda populer yang digunakan. Sebab, film-film yang dibuat tak jauh dari kisah kepahlawanan Soeharto dan Orde Baru. Sekalipun isinya filmnya tak sepenuhnya benar. Namun, itulah propaganda.

“Kesalahan terbesar dari Pengkhianatan G30S PKI tidak sepenuhnya terletak pada isinya, tetapi cara karya tersebut disebarluaskan kepada masyarakat dengan digadang-gadang sebagai film dokumenter atau film sejarah.”

“Sebagai akibatnya, film yang mengandung unsur fiksi tersebut dipercaya sebagai reka ulang dari peristiwa 30 September dan kejadian-kejadian yang mengikutinya. Dengan begitu, persepsi publik tentang Gerakan 30 September dan tokoh-tokoh komunis berkiblat pada narasi yang diproduksi Orba melalui film tersebut,” tulis Dhianita Kusuma Pertiwi dalam buku Mengenal Orde Baru (2021).