Sejarah Mudik Nusantara
Ilustrasi foto (Sumber: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Mudik adalah tradisi panjang yang tercatat dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia. Ada romantisme hingga pengakuan sosial di dalam sejarah mudik.

Tradisi mudik pada dasarnya adalah tradisi orang kota. Mudik hadir bersamaan dengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad ke-19.

“Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah momen saat kembali ke desa disebut 'mudik',” kata sejarawan, JJ Rizal.

Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama Batavia dan berstatus Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet orang-orang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. “Tak ayal, jumlah urbanisasi yang besar membuat Batavia, terutama Jakarta, jadi identik dengan mudik,” kata Rizal.

Ilustrasi foto (Sumber: Istimewa)

Romantisme dan pengakuan sosial

Jika dilirik ke belakang, istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Setiap daerah pun memiliki bahasa sendiri dalam menyebut tradisi mudik. Bagi masyarakat di Jawa, mudik berasal dari kata 'mulih disik' yang berarti pulang sejenak.

Namun, bagi masyarakat Betawi, mereka mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik (kampung)'. Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) juga mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau minang.

Ia menjelaskan, “Bagi orang minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah 'pulang basomo.'”

Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, mudik jadi simbol pengakuan sosial.

Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen mudik, para perantau bagai pahlawan.

Kendaraan-kendaraan para pemudik ditempeli stiker akan disambut di perbatasan provinsi oleh voorijder. “Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ‘Ayo ke rantau mengubah nasib,’ kira-kira begitu lah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.”

Saking populernya mudik, Komaruddin Hidayat dalam tulisan di e-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015), menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Mudik, baginya adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis, yang mampu menembus waktu yang panjang.

Ilustrasi foto mudik zaman dahulu (Sumber: Commons Wikimedia)

Tak hanya itu. Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu 'homo festivus', yakni makhluk yang senang festival.

Karenanya, Komaruddin mengatakan, “... dengan begitu banyak festival, termasuk festival yang bernuansa keagamaan. Ramai-ramai merayakan Lebaran Idul Fitri bisa juga tergolong festival. Pada setiap festival, ada pola yang ajeg, yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen-momen tertentu, beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.”

“Ada lagi yang mengatakan, manusia itu makhluk peziarah. Wanderer or traveler being, yakni senang melakukan perjalanan atau jalan-jalan. Setiap datang hari libur, agenda utamanya jalan-jalan, rekreasi,” tambahnya.

Setali dengan itu, Rektor Institut Sosial dan Budaya (IISBUD) Sumbawa Besar Miftahul Arzak, yang sempat dihubungi VOI mengungkap hal yang sama. Miftah memandang mudik sebagai langkah untuk balik ke tanah kelahiran.

“Orang yang merasa diri mudik itu adalah orang-orang yang merasa bahwa tanah yang dipijak saat ini bukanlah yang kekal melainkan sementara. Maka, mereka perlu balik ke daerah asal atau kelahiran dalam jangka waktu tertentu.”

Oleh sebab itu, orang-orang yang melakukan tradisi mudik sudah tentu memiliki ragam tujuan. Kadang Mudik dimaknai sebagai bentuk pengakuan dirinya ke tanah asal, kadang pula sebagai bentuk rindu akan hangatnya suasana di kampung halaman yang tiada dua.

“Atas dasar itu, jelas sudah alasan kenapa kadang ada orang-orang yang berlomba untuk balik ke tanah kelahirannya. Entah mudik digunakan sebagai lambang dari kesuksesan seseorang di tanah rantau, atau hanya sebagai bentuk ke rinduan akan tanah kelahiran. Yang jelas dari semuanya ialah moment silaturahmi lah yang dinanti-nanti,” tutup Miftahul Arzak.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya