Penyajian Makanan jadi Tolok Ukur Kekayaan di Masa Penjajahan Belanda
Jamuan rijstaffel (Foto: Wikimedia commons)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia bukan hanya kaya akan jenis kuliner dari berbagai daerah, namun juga punya ragam cara penyajian. Salah satunya adalah rijsttafel atau Rice Table yang artinya meja nasi. Cara penyajian ini tenar di masa kolonial Hindia-Belanda (Indonesia).

Pada dasarnya, Rijsttafel adalah konsep jamuan makanan atau penyajian makanan lengkap ala Eropa. Dimana dalam prosesi makan ini diawali dengan makanan pembuka lalu menu utama dan diakhiri penutup.

Makanan yang disajikan adalah makanan khas nusantara, namun dibalut pada gaya Eropa. Nah, titik beratnya berada pada cara penyajian makanan ini. Tapi sayang, istilah ini sekarang sudah mulai hilang. Bahkan asing terdengar oleh masyarakat saat ini.

Kehadiran rijsttaffel saat itu begitu terhitung cukup spesial dan mewah. Sebab, di antara banyak sejarah pada masa penjajahan Belanda, rijsttafel dapat menjadi pembeda, yang mana pada saat itu perpaduan budaya kuliner nusantara maupun Belanda dapat bersatu-padu dengan harmonis di atas meja makan.

Penyajian rijsttafel lazimya dilakukan pada waktu jam makan siang di hari Minggu. Tapi, tidak semua keluarga Belanda yang dapat menghadirkan kemewahan rijsttafel ke dalam rumah. Terhitung, hanya mereka yang benar-benar kaya raya baru bisa menghadirkan hajatan Rijsttafel. Sajian ini bisa menjadi tolok ukur kekayaan seseorang.

Oleh karenanya, pejabat kompeni maupun kalangan bangsawan lah yang menjadikan budaya kuliner ini tetap lestari. Bahkan, sampai hari ini rijsttafel makin populer disajikan pada restoran mewah di Negeri Kincir Angin Belanda.

Menurut Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2011), keanekaragaman menu dan banyaknya pelayan yang terlibat dalam hajatan rijsttafel menjadikan momentum ini sebagai sarana menunjukkan kelas sosial. 

“Banyak keluarga Belanda, khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia, menghidangkan menu Indische Rijttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto, nasi goreng, nasi rames, gado-gado, lumpia dan sebagainya.”

Tak heran, pada zaman kolonial momentum hajatan rijsttafel digunakan kebanyakkan orang Belanda mengundang tamu penting ke rumahnya. Hal itu disinyalir sebagai siasat agar orang yang datang dapat mengentahui betapa kaya-raya empunya rumah. Pengalaman serupa sempat dituliskan oleh Hella S. Haasse dalam bukunya yang berjudul Sang Juragan Teh (1992).

Dalam buku yang memuat biografi dari perintis perkembangan teh Indonesia Robert Eduard Kerkhoven (1848-1918), Hella menuliskan bahwa Robert yang baru pertama kali menginjakkan kaki di daerah koloni, merasa bahagia ketika disambut oleh keluarga orang tuanya dengan sajian mewah rijsttafel

Oleh karenanya, pada momentum itulah Robert menjadi paham, jikalau lewat hajatan rijsttafel segala urusan penting dapat diselesaikan tanpa proses berbelit-belit.

“Pada hari yang telah ditentukan, anak-anaknya yang tinggal di Batavia berkumpul disana, membicarakan permasalahan keluarga sembari bersantap rijsttafel. Karena sudah sangat lama bermukim di kota itu dan mengenal setiap orang dengan baik, Ia (paman Robert) dapat merealisasikan hubungan dengan bernegosiasi hanya dengan sepucuk surat tak resmi atau melalui pembicaraan pribadi (dalam hajatan rijsttafel), dan dengan demikian, proses transaksi yang berbelit-belit dapat dihindari,” tulis Hella.

Asal usul Rijstaffel

Budaya Rijstaffel jelas tak hadir dengan sendirinya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Fadly Rahman dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016), rijsttafel merupakan hasil dari perpaduan budaya nusantara dengan Belanda yang sering kali disebut dengan Kebudayaan Indis.

Perpaduan tersebut didasari oleh banyaknya serdadu maupun pejabat Belanda yang meminang istri dari kalangan pribumi karena ketiadaan wanita Belanda di Hindia-Belanda. Kelak, jalur perkawinan itu pun menghasilkan ragam produk budaya, mulai dari bangunan bernuansa Indische stijl, musik tanjidor, dutch wife (bantal guling), hingga rijsttafel.

Namun, istilah tersebut baru populer di Hindia-Belanda sekitar 1870-an. Saat itu, orang Belanda mulai banyak berdatangan dari daerah koloni berkat dibukanya Terusan Suez. Singkat cerita, orang Belanda yang sedikit kaget dengan iklim tropis mulai menyesuaikan diri. Salah satu cara, mereka harus menyesuaikan diri dengan persoalan makanan.

Selebihnya, fadly mengutip Sejarawan Ong Hok Ham yang mengungkap asal muasal rijsttafel erat kaitannya dengan kemewahan kebiasaan makan di keraton-keraton Jawa pada masa lalu. “Kemewahan dalam hidangan dan pelayanan rijsttafel sekilas memiliki keserupaan dengan tradisi dan kebiasaan makan di keraton-keraton.”

Pendapat tersebut cukup berasalan. Dari data yang ada, Duta Kongsi Dagang Belanda VOC Rijklofs van Goens sempat berkunjung ke Keraton Mataram pada tahun 1656. Disitulah dirinya tampak bingung melihat begitu banyak jenis makanan yang terhidang dalam menyambut tamu, mulai dari daging, ayam, ikan, hingga sayuran yang diolah dari mulai dibakar, digoreng, hingga dikukus.

Namun, ada pula pendapat lain yang menegaskan budaya tersebut muncul, justru dari penyambutan tamu ala tuan tanah Eropa di Jawa. “Inspirasi terdekat rijsttafel sebenarnya lebih banyak bermula dari ruang-ruang makan mewah para tuan tanah perkebunan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20," ujar Fadly.

Dalam perkembangannya, rijsttafel yang awal mula dihadirkan saja, kemudian mulai banyak disajikan di luar rumah. Sebuah surat kabar terbitan Batavia pada 1868 memuat iklan mencari juru masak yang dapat mmebuat hidangan rijsttafel di Restoran Cavadino, Batavia.

“Iklan menunjukkan bahwa hidangan rijsttafel sudah dapat dinikmati di luar rumah yaitu restoran. Selain restoran, rijsttafel, yang dianggap hidangan mengejutkan bagi para pendatang baru ini, dapat dinikmati di hotel atau losmen. Kemudian ada kebiasaan yang disarankan untuk dilakukan setelah menikmati rijsttafel yaitu siesta atau tidur siang,” ujar Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942 (2019).

Setali dengan itulah, rijsttafel kemudian menjelma menjadi simbol gaya hidup di kalangan orang Belanda yang mengangkat kebiasaan makan nasi sebagai salah satu wujud budaya kolonial. Uniknya, lewat rijsttafel inilah hidangan lokal ikut-ikutan terangkat gengsinya dan terkenal di seantero negeri.

Tak hanya itu, Bukti kesehornya rijsttafel sempat pula dilantunkan oleh penyanyi Belanda kelahiran Surabaya Wieteke van Dort lewat lagu berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng (1991). Lagu tersebut hadir sebagai wujud betapa besarnya kerinduan sekaligus pengaruh kuliner Indonesia terhadap merkea yang pernah hidup di Hindia-Belanda. nuansa kerinduan tersebut dapat ditelusuri lewat lirik:

Toen wij repatrieerden uit de gordel van smaragd

(Ketika kami meninggalkan Negeri Zamrud Indonesia)

Dat Nederland zo koud was hadden wij toch nooit gedacht

(Sama sekali tak disangka jika Negeri Belanda begitu dingin)

Maar 't ergste was 't eten. Nog erger dan op reis

(Tapi yang keterlaluan adalah makanannya, benar-benar payah)

Aardapp'len, vlees en groenten en suiker op de rijst

(Kentang, daging, dan sayuran, serta gula dengan nasi)

Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei

(Beri aku nasi goreng dengan telur ceplok)

Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij

(Dengan sambal dan kerupuk serta segelas bir terbaik).