Langgeng Berkuasa Selama 32 Tahun, Begini Cara Soeharto merawat citra
Soeharto (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

MEDAN - Seiring dengan mempertahankan kuasanya, The Smiling General pun amat piawai dalam merawat citra-citranya. Pencitraan itu mulai dikuatkan Soeharto lewat berbagai upaya dan kebijakan. Lewat mata pelajaran di bangku sekolahan, misalnya.

Melalui mata pelajaran sejarah dan perjuangan atau pendidikan moral Pancasila, peran Soeharto disebutkan begitu mononjol. Ia juga dianggap aktor yang memegang kunci dalam rangkaian perjuangan dari Serangan Umum Sebelas Maret di Yogyakarta hingga penumpasan PKI dan antek-anteknya.

Soeharto Disebut Pembela Pancasila

Soeharto disebut-sebut pula sebagai pembela Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu peran-peran Soekarno, Mohammad Hatta dan tokoh-tokoh lainnya kurang ditonjolkan dalam berbagai hal.

Terutama, penulisan sejarah yang disponsori pemerintah meliputi sejarah populer, lisan, dan lain sebagainya. Bahkan, tokoh-tokoh itu terkesan sebagai pelengkap dalam sejarah perjuangan bangsa. Upaya itu seakan-akan mengamini narasi sejarah memang ditulis oleh pemenang.

Tak hanya itu. Soeharto turut mengontrol media untuk melanggengkan citra positifnya. Entah itu dalam program radio, televisi, hingga surat kabar. Adapun yang menolak atau menarasikan buruknya Soeharto, maka pemerintah Orba tak segan-segan melakukan penindakan tegas.

Lantaran itu untuk mengontrol media pemerintah Orba melakukan sensor ketat. Langkah itu memungkinkan pemerintahan Orba lebih leluasa mengisi muatan-muatan yang sesuai dengan citra positif Soeharto dan pemerintahannya.

 “Program-program TVRI, yang waktu itu menjadi satu-satunya, jelas menjadi corong efektif bagi penyebaran dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Bukan saja dalam hal penayangan film-film kepahlawanan Soeharto seperti Serangan Umum Sebelas Maret dan G30S 1965.

"Tetapi juga acara-acara klompencapir, liputan kegiatan Soeharto dan keluarganya yang begitu luas, mendalam dan monoton. Semua itu, sekali lagi memperkokoh citra heroisme Soeharto yang menjelma setara dengan Negara itu sendiri,” ujar FX Baskara Tulus Wardana dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2007).

Demi melegitimasi citranya, Soeharto sampai memanfaatkan Pancasila untuk mengancam lawan politik pada 1980. Upaya menyebar ketakutan itu juga muncul pada pembukaan Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru, Riau pada 27 Maret 1980.

Kemudian, narasi yang lebih personal disampaikan oleh Soeharto dalam pidato tanpa teks pada peringatan hari jadi ke-28 Komando Pasukan Sandhi Yudha --sekarang Korps Pasukan Khusus-- di Cijantung, Jakarta, 17 April 1980.

"Daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang dari pada dua pertiga (anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang ingin mengadakan perubahan," ucap Soeharto dalam pidatonya.

 

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Pola Pencitraan Soeharto

Selain Cara Soeharto merawat citra, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!