Eksperimen Obat COVID-19 di China Gagal Sebelum Penelitian Selesai
Ilustrasi foto (Science in HD/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Eksprimen obat COVID-19 oleh Gilead Sciences Inc (GILD.O), Remdesivir, dilaporkan gagal mengobati pasien dengan COVID-19 yang parah dalam uji klinis yang dilakukan di China untuk pertama kalinya. Namun, pihak Gilead mengatakan temuan itu tidak meyakinkan karena penelitian tersebut dihentikan lebih awal.

Melansir Reuters, Jumat 24 April, dalam uji coba di China, obat tersebut diberikan melalui infus intravena. Namun, ternyata gagal memperbaiki kondisi pasien atau mengurangi keberadaan patogen dalam aliran darah, menurut rancangan dokumen yang diterbitkan secara tidak sengaja oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dokumen itu kini dihapus. 

“Draf dokumen diberikan oleh penulis kepada WHO dan secara tidak sengaja diunggah di situs web dan dihapus segera setelah kesalahan diketahui. Naskah sedang ditinjau oleh sejawat dan kami menunggu versi final sebelum WHO berkomentar,” kata juru bicara WHO Tarik Jasarevic.

Pihak Gilead juga mengatakan bahwa laporan tersebut detailnya masih sedikit dan meminta agar membatasi penafsiran data yang belum sepenuhnya ditinjau. Saham Gilead pun turun 4,3 persen setelah data tersebut dirilis.

Turunnya saham Gilead terjadi beberapa hari setelah laporan lain yang merinci pemulihan cepat dalam demam dan gejala gangguan pernapasan pada beberapa pasien dengan COVID-19 yang dirawat dengan Remdesivir milik Gilead di Rumah Sakit Universitas Chicago Medicine.

Minat terhadap Remdesivir tinggi karena saat ini tidak ada perawatan atau vaksin pencegahan untuk COVID-19 yang disetujui. Dokter pun sangat membutuhkan apa pun yang dapat mengubah penyebaran penyakit yang menyerang paru-paru dan dapat mematikan organ lain dalam kasus yang sangat parah.

Dalam sebuah laporan yang diunggah oleh WHO tanpa sengaja tersebut, menunjukkan bahwa uji coba itu dilakukan kepada 237 pasien dengan 158 orang menerima Remdesivir dan 79 orang mendapat plasebo. Tingkat kematiannya adalah 13,9 persen untuk remdesivir versus 12,8 persen pada kelompok plasebo.

"Jumlah ini masih belum terlalu besar dari studi dan oleh karena itu statistik yang keluar tidak benar-benar kuat," kata analis Mizuho Salim Syed dalam sebuah catatan penelitian.

Gilead, dalam sebuah pernyataan mengatakan, laporan WHO termasuk karakterisasi yang tidak tepat dari penelitian dan dihentikan lebih awal karena rendahnya pasien untuk uji coba. Dan sebagai hasilnya tidak dapat digunakan untuk membuat kesimpulan yang bermakna secara statistik.

“Hasil penelitian tidak dapat disimpulkan, meskipun tren dalam data menunjukkan manfaat potensial untuk Remdesivir, terutama di antara pasien yang diobati pada awal penyakit,” kata pihak Gilead tanpa memberikan rincian untuk mendukung pernyataan itu.

Dokter berspekulasi bahwa obat seperti Remdesivir kemungkinan paling efektif ketika diberikan sedini mungkin dalam perjalanan penyakit karena dirancang untuk membantu menjaga virus dari replikasi dalam darah.

"Anda dapat memadamkan api unggun, tetapi setelah menjadi api unggun membara, sulit dikendalikan," kata Dokter Kevin Grimes, spesialis penyakit menular di Rumah Sakit Methodist Houston. 

David Katz, kepala investasi di Matrix Asset Advisors, yang memiliki saham Gilead, mencatat bahwa beberapa studi klinis tetap dilakukan untuk remdesivir. Gilead sedang menunggu hasil uji coba Remdesivir pada 400 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 parah dan berharap data yang dibutuhkan tersedia pada akhir April. Sebelumnya remdesivir juga gagal sebagai pengobatan untuk Ebola.