Bagikan:

JAKARTA - Kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental setiap manusia yang patut dijaga dan dilindungi secara bersama-sama. Hak di mana setiap individu bisa menyuarakan ide, pendapat juga kritik yang keras terhadap pemerintah tanpa rasa takut akan ancaman.

Dalam dunia demokrasi, kebebasan berpendapat bukan hanya memperkuat partisipasi publik dalam kehidupan politik, tetapi juga memastikan terwujudnya pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Sayangnya, sebagai bagian dari negara demokrasi, bangsa ini sedang mengalami kemunduran. Di mana kekerasan aparat terhadap pelaku demonstran tak terhitung jumlahnya dan intimidasi terhadap sebuah karya seni yang mengkritik juga kerap terjadi. Demokrasi hanya judul-judulan dan hanya bagian dari pratik prosedural. Masih ingat dengan Band Sukatani ditengarai mendapatkan intimidasi karena lagu "Bayar Bayar Bayar" yang mengkritik keras atas fenomena sosial di institusi polri?.

Co-Founder Lab Demokrasi, Hilarius Bryan menegaskan demokrasi di Indonesia sedang krisis dan mundur ke belakang. Pasalnya, kritik keras terhadap institusi bukan bagian dari pidana dan jangan dilarang-larang. "Demokrasi kita cacat kalau bisa saya bilang," sebut Bryan.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Nur Ansar ikut bersuara tegas, segala pembungkaman karya dan seni bisa menjerumuskan bangsa ini kembali ke dalam dunia yang serba gelap sebelum reformasi. "Sebagai karya seni, hal ini harus dihargai. Kritik lagu tersebut juga bisa dijadikan masukan yang dapat menjadi bahan bakar untuk perbaikan institusi," katanya Nur Ansar dalam pesan tertulis kepada VOI beberapa waktu lalu.

Demonstrasi Revisi UU ITE dan Berikan Kebebasan Berpadapat (Ist)
Demonstrasi Revisi UU ITE dan Berikan Kebebasan Berpadapat (Ist)

Kritis itu perlu asal terukur dan bisa dibuktikan. Lantas bagaimana dengan kasus persengkokolan yang melibatkan Direktur Pemberitaan JakTV yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, dan dengung atau buzzer para pendukungnya?

Sekretaris Jenderal Laskar Merah Putih (Sekjen LMP) Abdul Rachman Thaha (ART) menilai Kejaksaan Agung kerap dihadapkan pada kebisingan yang sengaja dibuat para buzzer atau pendengung ketika menangani perkara.

"Kejaksaan menangani perkara, itu biasa. Itulah fokus kerja Kejaksaan. Namun penegakan hukum memang pelik. Banyak kebisingan, baik yang dimunculkan oleh buzzeRp (pendengung bayaran) maupun peserta aksi unjuk rasa bayaran," kata Abdul Rachman, Selasa (22/4/2025).

Istilah Buzzer dan 'Trennya' di Indonesia

Istilah buzzer dalam Oxford Dictionary dimaknai sebagai “an electric mechanism for producing an intermittent current and a buzzing sound or series of sounds; used chiefly as a call or signal. Apabila diterjemahkan secara bebas, arti buzzer adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan untuk menyebarkan sinyal atau tanda tertentu.

Buzzer adalah individu yang menyebarluaskan, mengkampanyekan, atau mendengungkan suatu pesan atau konten tertentu. Umumnya buzzer beroperasi menggunakan akun-akun palsu dan anonim. Dalam konteks politik, buzzer mendengungkan narasi yang diinginkan oleh pembayarnya.

Selain itu, buzzer juga dapat berupa seseorang yang memiliki opini yang didengarkan, dipercaya, dan membuat orang lain bereaksi setelah mengetahui opini tersebut. Dapat pula diartikan bahwa buzzer adalah pengguna media sosial yang bisa memberikan pengaruh kepada orang lain hanya melalui pesan yang di-posting di timeline seperti kalimat, gambar, atau video.

Akin @TM2000 di Twitter Tahun 2013 Milik Raden Nuh (Istimewa)
Akin @TM2000 di Twitter Tahun 2013 Milik Raden Nuh (Istimewa)

Dengan demikian, buzzer dapat berupa akun anonim atau akun palsu, dan dapat pula merupakan akun asli dari seseorang yang menyebarluaskan atau mengkampanyekan opini, pesan, atau konten tertentu untuk tujuan tertentu. Dan di dalam dunia politik, buzzer ini mulai digunakan sejak tahun 2012.

Twitter menjadi salah satu platform utama bagi buzzer. Media sosial ini mulai digunakan di Indonesia sejak 2006 dan awalnya dimanfaatkan oleh berbagai merek untuk kepentingan promosi.

Salah satu akun yang fenomena saat itu di twitter @triomacan2000 yang digawangi Raden Nuh. Namun pamor dari akun @TrioMacan2000 langsung redup usai Raden Nuh ditangkap di sebuah kost-kostan di Jl Tebet Barat Dalam, Tebet, Jaksel, pukul 01.00 WIB pada awal bulan November 2014.

Penangkapan Raden Nuh ini setelah polisi dari Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menangkap Edi Syahputra juga di Tebet. Edi ditahan atas dugaan pemerasan pejabat PT Telkom lewat dunia maya. Raden Nuh dikatakan menerima uang senilai Rp275 Juta di sebuah kafe di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Admin TM2000 ini dikenakan Pasal 369 KUHP tentang pemerasan jo Pasal 3, 4, dan 5 UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ancaman Pidana untuk Buzzer

Melihat kejadian penangkapan akun @TM2000 seharusnya menjadi pembelajaran bahwa siapapun yang bersuara 'dibalik selimut' tetap bisa dilacak. Secara umum, apakah buzzer melanggar hukum? Tindakan buzzer yang menyebarkan hoaks, mencemarkan nama baik, menyebarkan informasi yang menimbulkan permusuhan berbasis sara, ataupun membuat akun palsu merupakan suatu tindak pidana.

Buzzer yang kerap menggunakan serangan penyebaran informasi palsu biasa terjadi pada masa pemilu atau pilkada. Buzzer seperti ini biasa di sebut dengan buzzer politik. Dan Buzzer bisa Dijerat UU ITE, Ini Penjelasannya.

Adapun, khusus dalam konteks buzzer politik dalam kerangka kampanye pemilu, berdasarkan Pasal 521 UU Pemilu dijelaskan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

Bebas Itu Tidak Ada Halangan untuk Bicara

Ilustrasi Buzzer Politik (Istimewa)
Ilustrasi Buzzer Politik (Istimewa)

Kebebasan berpendapat dan berekspresi sulit dianalisis indikatornya. Namun kedua hal tersebut merupakan sifat universal hak asasi manusia (HAM). Campaigner Social Justice Indonesia, I Gede Oka Kertiyasa mengatakan kebebasan berpendapat itu ketika tidak ada halangan untuk berbicara. Oka menjelaskan kebebasan juga membutuhkan perlindungan dan keamanan. Di dalam dunia maya kebebasan sipil ruangnya makin sempit dan mungkin bisa diterjemahkan sebagai kemunduran demokrasi.

"Kriminalisasi yang terjadi dalam aksi #IndonesiaDarurat 2024 menurut catatan Kontras terdapat 254 korban luka dan 380 korban mengalami penangkapan semena-mena. Kita bisa punya kebebasan pendapat tapi apakah kita diberikan ruang?" tanya Oka.

Sekretaris Tim Pelanggaran HAM Berat Komnas HAM, Eko Dahana memaparkan bahwa setiap masa memiliki masalahnya masing-masing. Situasi sekarang beda tantangannya, sehingga butuh disiapkan instrumen yang baik dalam membentuk regulasi untuk mengawasi kebebasan berpendapat.

"Kebebasan berpendapat periode sekarang sub prioritas. Sebenarnya situasi sekarang belajar dari proses tahun 1997-1998," kata Eko.

Eko pun mengatakan, Komnas HAM sejak 2020 telah memiliki standar norma dan pengaturan semacam general recommended untuk hak sipil. Dengan keamanan nasional di atas segalanya. "Kalo kita langsung to the point, perlawanan itu keras. Jadi kita harus strategis menghadapi kondisi sekarang," jelas Eko.

Menurutnya Komnas HAM akan menerima rekomendasi tersebut. Namun Komnas HAM butuh mengkaji dan menyiapkan instrumen yang baik agar tidak salah langkah. Prosedur yang dibuat pun perlu melakukan check and balance sesuai kondisi yang perlu diperhatikan.

Setidaknya agar kebebasan berpendapat akan memiliki kondisi yang baik. Sementara itu, Komnas HAM tetap akan menjadi 'pemadam kebakaran' apabila terdapat pembungkaman dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi. "Setiap orang yang berhak untuk berpendapat, bila ditangkap tidak dibolehkan ada intimidasi dan kekerasan. Kami Komnas HAM akan turun tangan,"tandasnya.