Teror Pinjaman Online Ilegal dan Fenomena Gunung Es Pencurian Data Pribadi
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

Kasus penyalahgunaan data pribadi oleh vendor pinjaman online atau yang biasa disebut pinjol semakin marak. Rata-rata debitur mengeluhkan cara menagih utang dengan meneror kerabatnya. Hal itu tentu hanya bisa dilakukan pinjol dengan mengakses data pribadi sang debitur. Masalah ini ternyata seperti fenomena gunung es. Masih banyak permasalahan lain yang belum terungkap dari penyalahgunaan data pribadi. Dalam Tulisan Seri khas VOI edisi "Data Pribadi Dijebol Pinjol" kami akan mendalami permasalahan tersebut.

Sejak 2016, kehadiran pinjol semakin menjamur di Tanah Air. Tahun ini, jumlah platform pinjol mencapai lebih dari 300. Perkembangan itu terjadi seiring meningkatnya inovasi teknologi. Buahnya, inovasi itu laksana pedang bermata dua. Ia bisa mendatangkan untung sekaligus bisa bikin buntung.

Dodi, seorang pegawai swasta menjadi salah seorang yang kena bujuk rayu pinjol. Ia pertama kali meminjam dana segar secara daring pada 2016. Dirinya mengaku terbuai dengan segala kemudahan yang ditawarkan platform peminjam uang. 

Mulanya Dodi mengaku hanya memperoleh limit pinjaman sekitar Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Karena lancar membayar cicilan, ia disodori quota pinjaman yang lebih besar. 

Gayung pun bersambut. Dodi memberanikan diri mengambil risiko. Ia meminjam uang Rp12 juta dengan total bunga mencapai Rp8 juta. Dana itu rencananya digunakan Dodi buat membangun usaha mikro. 

Sialnya bisnis yang baru seumur jagung tersebut keburu dijegal pandemi. Usahanya jalan di tempat. Pada gilirannya kondisi itu membuat kreditnya macet. Alhasil Doni kemudian dikejar-kejar penagih utang .  

Risiko ngutang ke pinjol (Antara News)

Dipermalukan

Istilah uang tak mengenal saudara apalagi sahabat itu benar adanya. Meski Dodi terkenal sebagai debitur yang taat membayar, perusahaan pemberi pinjaman seperti tutup mata ketika ia diterpa masalah.  

Dodi sudah bolak-balik menjelaskan kepada perusahan peminjam bagaimana kondisi usahanya. Namun hasilnya nihil. Karena tak kunjung mampu membayar cicilan, ia akhirnya dipermalukan oleh penagih utang kepada kerabat dan keluarganya.

Nama dan foto Dodi kemudian disebarkan dengan nada-nada yang bertujuan untuk mempermalukan. Upaya mempermalukan itu bahkan disebar ke teman-teman Dodi di media sosial.

“Ancamannya si macam-macam seolah-olah mempermalukan. Si ini gak bayar berupa foto sama nama, kemudian disebar ke kerabat lewat pesan singkat, WA, atau media sosial. Foto ini namanya ini hutangnya segini. Tolong disuruh menghubungi penagih. Begitu-begitu lah ancamannya. Foto yang megang E-KTP itu loh yang disebar. Itu kan menjatuhkan nama baik orang,” ungkap Dodi saat dihubungi VOI, Jumat, 30 April.

“Tapi kalau saya ancam balik, mereka [pinjol] nantang, katanya lapor aja kamu kan tak bayar hutang. Asumsi saya mereka berani seperti ini karena si penagih adalah pihak ketiga. Seolah-olah divisi debt collector itu dipisah dari perusahaan. Nanti pas perusahaan dihubungi, maka perusahaan dengan mudah menyangkal itu debt collector mereka,” tambahnya.

Kehadiran pihak ketiga seperti yang diungkap Dodi memang lazim dalam pinjol. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang mengatur terkait tata cara pinjol melakukan penagihan dengan menggunakan jasa dari pihak ketiga untuk penagihan. Akan tetapi, perusahaan penagih harus berbadan hukum, memiliki izin dari Instansi berwenang, memiliki sumber daya manusia, serta memperoleh sertifikasi dalam bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi dibidang penagihan.

Namun, dalam aturan itu tak dijelaskan berapa banyak pihak ketiga yang akan dilibatkan. Dalam salah satu postingan akun twitter @pinjollaknat menjelaskan ada salah satu perusahaan pinjol yang bisa punya pihak ketiga mencapai 15 perusahaan. Masing-masing dengan tugas melakukan layanan pesan singkat, mengecek media sosial, mitigasi risiko, tanda tangan daring dan lain sebagainya.

Infografik (Raga Granada/VOI)

Ancaman pinjol

Dodi hanyalah salah satu contoh orang yang datanya dieksploitasi pinjol. Di luaran sana mungkin masih banyak Dodi lainnya yang bernasib sama. Dan sebenarnya dipermalukan pinjol hanyalah sebagian dari masalah yang terlihat dari penyalahgunaan data. 

Sebab, menurut Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi bahaya pinjol lebih besar lagi karena orang lain punya kontrol akan data nasabah. Data pribadi itu mudah sekali dipalsukan. Sebab, oknum-oknum telah memiliki data nasabah secara utuh.

Lantaran itu, ketika data kita –seperti data E-KTP— sudah dimiliki orang lain. Maka, orang tersebut akan mampu melakukan apapun atas nama debitur. Bahkan tanpa harus sepengetahuannya. 

Contoh paling dekat yaitu dengan data yang dimiliki seseorang dapat melakukan pendaftaran layanan seperti rekening akun bank yang cara pembuatannya mudah. Artinya mereka tinggal bawa E-KTP palsu. Datanya sama, terus wajahnya bisa diganti dengan wajah oknum tersebut. maka itu masih bisa diterima. 

Rekening yang jadi pun memang atas nama nasabah. Kendati demikian, nasabah tidak memiliki kontrol menggunakannya. Alhasil, nasabah secara finansial dapat dirugikan. Orang lain yang minjam, namun nasabah yang ditagih. Dampak lainnya pun dari ekploitasi data pribadi tak kalah basar. 

Oknum bisa saja menggunakan nama nasabah untuk melakukan fitnah, atau pembajakan sosial media dan lain sebagainya. Permasalahan itu sebenarnya dapat segera ditanggulangi jika Undang-Undang Penggunaan Data Pribadi (UU-PDP) segera dirampungkan.

“Aturannya begini sebetulnya itu kan penggunaan data pribadi, itu sangat kuat kalau ada UU-PDP. Sebelum ada UU-PDP, UU-ITE harusnya bisa menangkal. Berarti itu kan transaksi yang tidak boleh, tidak legal, tidak betul, kita sebenarnya bisa nuntut dengan UU-ITE itu. Cuma jadinya kadang ruginya itu cuma 10 juta gitu, terus lapor ke polisi. Terus polisinya juga mikir effort untuk ngurusin itu bakalan bisa besar,” ujar Ismail Fahmi dihubungi VOI, Jumat, 30 April.

Menurut Ismail baik OJK maupun kepolisian harus segera bergerak. Sebab ini sudah waktunya lembaga-lembaga tersebut mencegah kasus penyalahgunaan data pribadi oleh pinjol terus-terusan terjadi. 

“Saya kira OJK harus bergerak, kepolisian harus bergerak, sekarang ini kan mereka ini merasa aman... Itukan tugasnya OJK untuk memikirkan. Jangan kemudian dilepaskan, lalu bilang ke masyarakat cuma untuk hati-hati. OJK harus memahami pinjol begitu banyak karena pandemi.  Tapi sayangnya gak ada perlindungan buat mereka. Ini kan repotnya,” tutup Ismail Fahmi.