MEDAN - Siti Hardijanti Rukmana adalah Anak pertama Soeharto yang dikenal sebagai Mbak Tutut. Dia tak luput memanfaatkan kuasa ayahnya sebagai orang nomor satu Indonesia.
Sejak usia 21 tahun, Tutut telah dikenal aktif dalam dunia bisnis. Keterampilannya berbisnis bahkan merambah segala bidang. Jalan tol, minyak, jasa keuangan, televisi, agribisnis, dan konsesi-konsesi negara jadi fokusnya.
BACA JUGA:
Siti Hardijanti Rukmana dan Pembuatan SIM
Setelahnya, Mbak Tutut menancapkan kuasanya dalam proyek pengelolaan komputerisasi pembuatan Surat Izin mengemudi (SIM). Bagi mbak Tutut, SIM jadi salah satu ladang bisnisnya yang menguntungkan.
Payung perusahaan PT. Citra Permatasakti Persada (CPP) digunakan olehnya. Di dalam itu, ia mengajak serta simpatisan Partai Golkar, Setya Novanto (kemudian: Ketua DPR RI Periode 2014–2019). Keduanya lalu mengawal proyek itu dengan bekerja sama dengan POLRI pada 1992.
“Kerja sama bisnis keluarga dan kroni Soeharto dengan pihak Polri juga tidak kalah mesranya. PT Citra Permatasakti Persada (CPP) milik Tutut dan Sudwikatmono serta PT Wenang Sakti milik Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas) mendapat monopoli pembuatan SIM di sebelas kota besar, bekerja sama dengan Inkud Polri dan mantan Kapolri Jenderal (Polri) Koenarto.”
“Kerja sama selama lima tahun menggunakan jaringan komputer milik Polri, telah menghasilkan kcuntungan berlipat ganda bagi Tutut dan mitra bisnisnya. Kerja sama ini kemudian dilanjutkan dengan monopoli pembuatan KTP oleh perusahaan keluarga Soeharto yang lain, PT Solusindo Mitra Sejati, yang dipimpin oleh Nyonya Elsye Sigit, istri putra tertua Soeharto, Sigit Harjojudanto,” tandas George Junus Aditjondro dalam buku Korupsi Kepresidenan (2006).
Kontrak yang diadakan oleh CPP awalnya hanya dua tahun saja. Setelahnya CPP diharuskan menyerahkan perangkat keras berupa komputer, dan lain-lainnya kepada Polri. Namun, kontrak itu tetap berlangsung selama lima tahun lamanya. Semua itu karena CPP memperoleh perpanjangan waktu. Konon karena lobi politik.
Keuntungan yang diperoleh Mbak Tutut lewat CPP pun melimpah. Nilai pengadaan barang, termasuk komputer untuk pembuatan SIM hanya berkisar pada angka Rp101 miliar. Laporan itu diungkap oleh surat kabar Suara Pembaruan, 3 Juni 1998.
Perihal keuntungan yang didapatkan oleh CPP justru melebihi modal dasar itu. CPP mendapatkan keuntungan sebesar Rp500 miliar dalam kurun lima tahun. Lebih rinci lagi, setiap pembayaran yang masuk sebesar Rp52.500 per SIM, sebesar Rp48.500 menjadi jatah PT Citra Permatasakti Persada, sedangkan sisanya Rp4.000 masuk kas negara.
“Besarnya dana yang masuk ke dalam proyek-proyek anak-cucu Cendana itulah yang menyebabkan para mahasiswa-dan seluruh masyarakat- menjadi ‘gregetan’ dan ramai-ramai menuntut supaya kekayaannya diusut. Jumlah kekayaan yang dikumpulkan dengan mengaburkan batas antara milik pribadi dan milik negara selama tiga puluh tahun lebih itu akhirnya menimbulkan krisis ekonomi yang menurunkan kekayaan rakyat menjadi tinggal 25 persen dari semula akibat jatuhnya nilai rupiah,” tutup Sanjoto Sastromihardjo dalam buku Reformasi dalam perspektif Sanjoto (1999).
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Gemuk Kantong Keluarga Cendana dari Bisnis SIM
Selain Siti Hardijanti Rukmana, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI Sumut, Berita Sumatera Utara Terkini!