MEDAN - Rezim militer Myanmar akan memberlakukan penguncian nasional minggu depan, menambah jumlah hari libur umum dari dua menjadi lima dan membelakukan libur resmi mulai 17 Juli hingga 25 Juli untuk menahan penyebaran COVID-19 di tengah lonjakan kasus infeksi gelombang ketiga.
Melansir Worldometers, hingga Kamis 15 Juli kemarin Myanmar mencatat total 212.545 kasus infeksi COVID-19 dengan angka kematian mencapai 4.346 orang, sementara 153.609 pasien dinyatakan sembuh.
BACA JUGA:
Warga Myanmar Didesak Tidak Tinggalkan Rumah
Dalam perintah yang ditandatangani oleh Sekeretaris Dewan Administrasi Negara (SAC), rezim militer Myanmar menetapkan dua hari kerja, 20 dan 22 Juli sebagai hari libur umum untuk secara efektif melakukan pencegahan, pengendalian dan kegiatan pengobatan.
Selain Hari Raya Iduladha, pekan depan Myanmar juga memiliki Hari Martir (19 Juli) dan Hari Bulan Purnawa Waso (23) sebagai hari libur resmi, seperti mengutip The Irrawaddy Jumat 16 Juli.
Komite Sentral Pencegahan, Pengendalian dan Pengobatan COVID-19 yang kini dipimpin oleh pemimpin rezim militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing juga mengatakan, masyarakat harus mematuhi aturan yang ditetapkan komite, untuk mencegah penyebaran COVID-19 secara efektif selama hari libur nasional.
Orang-orang didesak untuk tinggal di rumah atau asrama, dilarang bepergian kecuali untuk tugas dan layanan pemakaman. Hanya toko-toko yang menjual kebutuhan pokok, obat-obatan dan persediaan medis yang diizinkan buka.
Orang-orang harus mengenakan masker dan alat pelindung setiap kali mereka pergi ke luar. Rezim militer memperingatkan, tindakan akan diambil terhadap mereka yang gagal mematuhi aturan.
Myanmar berada di tengah gelombang ketiga infeksi virus corona yang dimulai pada akhir Mei. Sejak itu, kasus telah dilaporkan di 296 dari 330 kotapraja, atau 90 persen dari semua kotapraja nasional. Rezim militer telah memberlakukan perintah tinggal di rumah di 74 kotapraja, termasuk di wilayah Yangon, Mandalay dan Sagaing serta negara bagian Chin dan Shan.
Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya pasokan oksigen yang menyebabkan banyak pasien COVID-19 meninggal sejak awal bulan ini. Daw Than Than Soe, ketua kelompok amal Rights to Live yang berbasis di Yangon mengatakan, pihaknya telah diminta untuk mengangkut lebih dari dua kali lipat jumlah mayat ke pemakaman Yeway dan Kyisu minggu ini.
"Lebih banyak kematian akan segera terjadi. Kami belum dapat membantu semua orang yang meminta bantuan dari kami. Mereka meminta oksigen medis untuk pasien, tetapi kami tidak memiliki sumber daya yang cukup," lirihnya.
Ketika Myanmar bergulat dengan gelombang ketiga virus corona yang mematikan, kekurangan oksigen medis telah menjadi pembunuh terbesar di negara itu.
Pada Bulan Juni, jumlah orang yang meninggal karena COVID-19 mencapai 117. Tetapi dalam dua minggu pertama bulan Juli, jumlah kematian telah mencapai 847. Krematorium di Yangon dan di tempat dipenuhi peti mati.
Sistem perawatan kesehatan yang terpengaruhi kudeta militer 1 Februari, mendorong tenaga kesehatan bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), membuat banyak pasien terpaksa menjalani parawatan di rumah dan kekuarangan oksigen medis.
Sebagai tanggapan, rezim militer telah memerintahkan pabrik oksigen di Yangon dan kota-kota lain untuk tidak mengisi ulang tabung oksigen untuk individu. Pada malam 13 Juli, pasukan junta melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan kerumunan yang mengantri untuk mendapatkan oksigen di sebuah pabrik di Kotapraja South Dagon Yangon.
Penerapan jam malam mulai senja hingga terbit fajar, membuat banyak pasien COVID-19 meninggal karena tidak bisa mengakses oksigen dan perawatan medis tepat waktu.
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Alami Ledakan Kasus COVID-19 dan Kekurangan Oksigen, Rezim Militer Myanmar Umumkan Lockdown
Selain Ledakan Kasus COVID-19 Myanmar, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!