MEDAN - Perkembangan media sosial kini semakin inklusif. Siapa saja kini dapat dengan mudahnya menjadi artis dadakan hanya dari sebuah unggahan konten video yang viral.
Munculnya banyak platform mulai dari Twitter, Facebook, Instagram, sampai TikTok, membuka kesempatan besar bagi kita untuk meraih popularitas.
BACA JUGA:
Berdasarkan data dari We Are Social 2020, orang Indonesia rata-rata mengakses media sosial selama 3 jam 26 menit per hari. Data itu menunjukkan kalau media sosial telah menjadi barang wajib di kehidupan kita. Mungkin kita bakal merasa aneh jika ketinggalan berita atau informasi yang tengah viral di jagat maya. Perasaan itulah yang kemudian disebut fear of missing out (FOMO).
Viralnya sebuah konten karena banyak orang yang membicarakan dan membagikannya ke para pengguna lain hingga konten itu tersebut ke berbagai kanal media sosial, bahkan sampai diangkat oleh statisun televisi nasional. Fenomena inilah yang menurut laman resmi Universitas Airlangga Surabaya, disebut sebagai online sharing behavior.
Kemunculan fenomena online sharing behavior
"Sangat tidak mengherankan, ketika kita membagikan konten online, kita telah ikut berperan membuat konten tersebut menyebar dari mulut ke mulut melalui media sosial atau biasa dikenal sebagai E-WOM (Electronic Word-of-Mouth). E-WOM memiliki efek berantai bagaikan virus yang menginfeksi satu orang ke orang lain yang membuat konten tersebut menjadi viral," tulis laman Unair. Apa sebabnya?
Hasil studi The New York Times, Customer Insight Group, dan Latitude Research pada 2020 menemukan, bahwa secara psikologis ada lima (5) faktor yang membuat pengguna membagikan konten di media sosial. Pertama, konten yang dirasa bernilai, mencerahkan, dan menghibur.
Kedua, konten yang mempertegas dan mengaktualisasikan diri sendiri. Ketiga, konten yang bisa terhubung dengan suatu kelompok. Keempat, konten yang bisa memperoleh pengakuan dari orang lain. Dan kelima, konten yang bisa mendukung sesuatu yang sedang diperjuangkan banyak orang atau merek yang mereka sukai.
Mungkin karena kemudahan memperoleh publisitas dan popularitas akibat perkembangan teknologi itulah, orang-orang jadi berlomba-lomba untuk membuat konten viral. Syahwat orang-orang untuk mendapatkan engagement pun semakin meningkat.
Efek samping perkembangan teknologi
Semua orang sudah tahu kalau perkembangan teknologi informasi kini sudah begitu cepat. Kalau dulu orang yang bisa menyebarkan sebuah informasi di ruang publik hanyalah yang bermodal dan berkuasa, dengan hadirnya media sosial, sekarang hampir semua orang bisa melakukan hal itu.
Perkembangan teknologi informasi sampai detik ini bahkan terus berevolusi. Kalau dulu orang perlu modal besar, dan bersaing gila-gilaan untuk bisa menjadi publik figur, sekarang dengan berkembangnya platform media sosial seseorang bisa mendadak menjadi orang terkenal hanya dalam hitungan hari bahkan jam.
Perkembangan industri media kini tak lagi eksklusif hanya bisa dilakukan oleh orang berkapital besar. Hari ini, semua orang bisa dengan mudah membuat medianya sendiri hanya dengan bermodalkan ponsel pintar.
Namun celakanya, perkembangan teknologi ini bukan tanpa efek samping. Teknologi memang mampu memperbesar kemampuan indrawi kita untuk bersuara, mendengar, dan melihat, tapi ia tak akan pernah bisa memperbesar kemampuan nalar dan emosi manusia. Argumen tersebut dijelaskan oleh Profesor Emeritus dari Monash University, Ariel Heryanto dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Mengapa Kita Membeci?"
Ariel menjelaskan, teknologi sejatinya adalah alat untuk memperjelas dan memperpanjang kemampuan lima alat indra manusia. Tak terkecuali perkembangan media digital.
"Teknologi hanyalah alat untuk memperjelas, memperpanjang, kemampuan lima alat indra manusia. Mobil memperpanjang kemampuan kaki kita, kaca mata saya memperpanjang kemampuan daya lihat mata saya. Digital media sama halnya. Ia memperpanjang kemampuan orang untuk mendengar, bersuara, dan sebagainya," kata Ariel dikutip dari video yang diunggah akun Youtube Jakartanicus.
Namun celakanya, kata Ariel, kendati seringkali teknologi memperbesar kemampuan indrawi, tapi ia tak akan pernah berimbang memperbesar kemampuan emosi dan nalar kita. "Celakanya, teknologi ini seringkali memperbesar kemampuan indera kita, tetapi tidak akan pernah berimbang memperbesar kemampuan emosi dan nalar kita."
"[Perkembangan teknologi] yang diperbesar inderanya, jadi kita bisa melihat, bersuara dan mendengar lebih banyak dari yang dulu, tapi kita tidak siap, mendengar dan melihat yang kita kemudian bisa lihat... Tapi teknologi, itu seringkali justru tidak memberikan kita untuk istirahat. Kita jadi bisa melihat lebih banyak, mendengar lebih banyak, dan itu kita kaget-kagetan saya kira," tambah Ariel.
Penjelasan Ariel Heryanto jelas terbukti bila berkaca dari dua contoh kasus "unboxing" Ducati di Sirkuit Mandalika dan makam Vanessa Angel yang terlihat seperti tak mengindahkan etika. Perkembangan teknologi memang bisa membuat kita meraup popularitas dengan cara paling pintas. Tapi perkembangan teknologi tak bakal mampu berimbang meningkatkan emosi dan nalar kita.
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Dari Insiden Unboxing Ducati di WSBK hingga Rusaknya Makam Vanessa Angel: Syahwat Ngonten yang Kebablasan
Selain mengapa orang kecanduan ngonten, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!