Sejarah Air Minum Kemasan di Indonesia, Mulanya Dianggap Aneh
Lustrasi foto (Adam Navarro/Unsplash)

Bagikan:

MEDAN – Air mineral kemasan di Indonesia sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda dan memiliki sejarah panjang. Hendrik Freerk Tillema adalah seorang Belanda kelahiran 1870 yang menjadi perintis utama lahirnya air minum kemasan.

Pada tahun 1910-an, Hendrik Freerk memperkenalkan air minum kemasan bermerek “Hygiea” ke penduduk Hindia-Belanda (Indonesia) di Semarang.

“Hygiea” Merek Air Kemasan Pertama di Hindia Belanda

Kala itu, terobosan Hendrik Freerk dianggap begitu aneh. Tak banyak orang tertarik dengan produk air minum kemasan yang ia jual. Hygiea pun gagal laku di pasaran. Pada dekade-dekade selanjutnya, seorang petinggi Pertamina, Tirto Utomo meniru langkah Hendrik Freerk.

Pria bernama Tionghoa Kwa Sien Biauw menciptakan produk air minum kemasan bernama Aqua. Produk itu lahir dari rahim perusahaan bumiputra, PT. Golden Mississippi. Seperti pada massa Hendrik Freerk memperkenalkan Hygiea, masyarakat di tengah masa lahirnya Aqua pun memandang aneh.

Banyak di antara masyarakat yang meragukan langkah Tirto. "Air minum dibotolkan, siapa yang mau beli?” atau “Air sumur saya bagus, buat apa saya beli air mahal,” bunyi narasi keraguan kala itu.

Tirto tak patah. Keinginannya menyediakan air minum bersih dan sehat sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, yang belakangan mulai peduli kepada gaya hidup sehat. Tirto bersikukuh, meski air ledeng dari PAM (perusahaan air minum) boleh diminum tanpa dimasak, bisnis air mineral tak akan goyah.

Aqua pun tetap berdiri. Tirto menjual pemrosesan Aqua sebagai produk air minum yang telah melalui penyinaran ultraviolet dan ozonisasi. Hal itu ia sebut dapat memastikan Aqua bebas dari kontaminasi zat apapun. Kelak, sumber air Aqua pun diambil dari pegunungan. Hal itu dilakukan untuk menjamin kemurnian. Dan yang lebih penting, guna mengambil hati konsumennya.

Namun, segala langkah itu tak membuat Aqua laku keras. Meski hari ini Aqua tumbuh sebagai merek yang begitu ternama, di awal-awal perintisannya, Tirto sempat mengalami kesulitan yang begitu banyak. Masalahnya beragam, mulai dari kemasan kaca hingga target pasar --didominasi orang asing-- yang kala itu masih memandang rendah kualitas produk Indonesia.

Tercatat, hingga 1978 Tirto masih bergulat menjual Aqua berbahan kaca yang pasarnya tampak terbatas. Hanya kalangan kaya dan sangat kaya yang dapat membelinya. Dalam kesukaran itu, Tirto memiliki ide untuk mencoba membuat Aqua berbahan kemasan plastik dan cara itu terhitung ampuh, terutama saat Aqua versi kemasan galon diluncurkan.

Dalam laporan majalah Tempo berjudul Menyiasati Rasa Dahaga (1986), dikisahkan bagaimana pemasaran Aqua terus meningkat, terutama setelah perusahaan juga memproduksi mesin (dispenser) untuk botol Aqua ukuran lima galon. Kala itu perusahaan meminjami dispenser-dispenser itu, di mana penyebarannya terbatas di kantor-kantor.

Sejak itu permintaan terhadap Aqua, terutama galon dan dispenser meningkat. Tirto dan kolega kini mendapat pasar baru: rumah tangga. Melayani pasar rumah tangga dalam skala terbatas, Tirto betul-betul mulai kerepotan. “Saya repot melayani permintaan dispenser.”

"Meningkatnya permintaan Aqua dari konsumen membuat Tirto mengajukan izin penambahan produksi. Izin yang diberikan kala itu adalah untuk 80 juta liter per tahun. Padahal, kapasitas mesin yang dimiliki 120 juta liter pertahun,” tulis laporan Tempo.

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Asal-Usul Air Kemasan: Ide Aneh yang Ternyata Membawa Keuntungan Abadi.

Selain sejarah air minum kemasan di Indonesia, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!