Sejarah Lembaga Sensor yang Sudah Bermasalah Sejak Zaman Penjajahan Belanda
Cuplikan film Darah dan Doa (1950) (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

MEDAN - Keberadaan lembaga Sensor film selalu bermasalah. Sejak zaman penjajahan Belanda, kuasa sensor film dimonopoli demi kelancaran politik Negeri Kincir Angin. Kondisi itu agaknya bertahan sampai Indonesia merdeka.

Usmar Ismail dan Ali Sadikin jadi nama yang paling geram ke lembaga sensor. Keduanya tak saja jengkel melihat lembaga sensor bekerja melulu urusi perihal moral. Tapi, kehadirannya membawa kemunduran bagi industri perfilman nasional.

Gambar idoep atau film muncul pertama kali di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Batavia pun menjadi gerbang masuk film ke Nusantara. Karenanya, tiap-tiap kaum Belanda totok hingga bumiputra ingin menjadi saksi dari dimulainya era baru industri hiburan.

Film Amerika Tidak sesuai dengan citra orang Belanda

Antusias itulah yang membuat kehadiran bioskop menjamur pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian, kehadiran bioskop dapat merebut hati banyak orang yang awalnya hanya dapat menikmati seni pertunjukan terbatas pada tonil, sandiwara, atau komedi.

Belum lama puas dengan kehadiran film, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan masalah baru. Kebanyakkan film-film yang diputar pada bioskop di seantero negeri notabene buatan Amerika Serikat (AS).

Gambaran film-film itu tak sesuai dengan citra orang Belanda yang menjunjung tinggi perihal moral. Sebab, jalan ceritanya didominasi oleh kisah main hakim sendiri dan adegan seks luar nikah. Antara lain cerita jagoan ahli menembak, pembunuh bayaran, ataupun tokoh playboy. Sederet film itu langsung jadi ancaman terhadap moral dan kuasa Belanda di tanah koloni.

"Karena minat penonton bumiputra ketika itu lebih tertuju kepada gambar film bukan alur cerita dan gambar-gambar yang dipertunjukan itu memperlihatkan citra negatif orang barat, maka atas saran penduduk Eropa di Hindia-Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan untuk menyeleksi film-film yang masuk ke Hindia-Belanda melalui suatu badan yang dinamakan Komisi Sensor Film,” ungkap M. Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia-Belanda (2010).

Komisi Sensor Film (Commissie voor de Kuering van Films) lahir lewat aturan Ordonasi Bioskop tahun 1916. Upaya itu sebagai bentuk Belanda mulai mengendalikan peredaran film yang masuk ke Hindia-Belanda. Wewenang tersebut ditunjukkan langsung oleh Gubernur Jenderal.

Penguasa Hindia-Belanda itu dapat menentukkan tempat untuk berdirinya Komisi Sensor Film dan Lembaga Komisi Sensor Film. Komisi ini terdiri dari lima anggota termasuk seorang ketua. Pengawasan film lalu difokuskan di empat kota: Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan.

Setelahnya, kehadiran Komisi Sensor Film di Hindia-Belanda mulai mengundang masalah. Para importir, pemilik bioskop, dan penonton merasa dirugikan. Alhasil, segenap masyarakat di Hindia-Belanda menuntut penyempurnaan aturan sensor.

Meski begitu, setelah tujuh kali disempurnakan, aturan sensor film bak jalan ditempat. Penyebabnya tak lain karena film-film yang berdatangan sering bertolak dari visi pemerintah kolonial belanda sehingga sensor pun semakin kencang.

“Sebelum muncul kesadaran penonton pribumi, maka pemerintah kolonial membentuk Komisi Sensor Film. Untuk meredam film cerita bisu impor yang menggambarkan perilaku negatif orang barat, maka pemerintah kolonial menugaskan Komisi Penilaian Film menggunting (menyensor) film yang dikategorikan: merusak kesusilaan umum, melanggar ketentuan umum, atau menjadi sebab munculnya gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan,” tulis Redi Panuju dalam buku Film Sebagai Proses Kreatif (2019).

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Bahkan Sejak Zaman Belanda Lembaga Sensor Sudah Kerap Bermasalah

Selain Sejarah Lembaga Sensor, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!