Sejarah Tradisi Mudik di Indonesia dan Simbol Pengakuan Individu
Gambaran situasi mudik dengan kereta api di Nusantara (Wikimedia Commons)

Bagikan:

MEDAN – Dalam bahasa romantisasi, tahun ini akan banyak keluarga yang harus saling menahan rindu karena tak dapat bersilaturahmi dengan sanak famili. Tapi, apalah rindu. Keselamatan bersama harus jadi hal utama. Tak cuma perkara rindu, memang. Bagaimana pun, mudik adalah tradisi panjang yang tercatat dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia.

Tradisi Mudik di Nusantara, Ada Sejak Abad 19

Sejarawan JJ Rizal yang dihubungi VOI, mengungkap tradisi mudik sebagai tradisi orang kota. Dalam artian, mudik hadir bersamaan dengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad ke-19. “Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah momen saat kembali ke desa disebut 'mudik'.”

Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama Batavia dan berstatus Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet orang-orang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. “Tak ayal, jumlah urbanisasi yang besar membuat Batavia, terutama Jakarta, jadi identik dengan mudik,” kata Rizal.

Namun, Jika dilirik ke belakang, istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Setiap daerah pun memiliki bahasa sendiri dalam menyebut tradisi mudik. Bagi masyarakat di Jawa, mudik berasal dari kata 'mulih disik' yang berarti pulang sejenak.

Namun, bagi masyarakat Betawi, mereka mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik (kampung)'. Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) juga mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau minang.

Ia menjelaskan, “Bagi orang minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah 'pulang basomo'.”

Simbol Pengakuan Sosial

Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, mudik jadi simbol pengakuan sosial. Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen mudik, para perantau bagai pahlawan. Kendaraan-kendaraan para pemudik ditempeli stiker akan disambut di perbatasan provinsi oleh voorijder.

“Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ‘Ayo ke rantau mengubah nasib,’ kira-kira begitu lah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.”

Saking populernya mudik, Komaruddin Hidayat dalam tulisan di E-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015), menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Mudik, baginya adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis, yang mampu menembus waktu yang panjang

Tak hanya itu, Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu 'homo festivus', yakni makhluk yang senang festival.

Karenanya, Komaruddin mengatakan, “... dengan begitu banyak festival, termasuk festival yang bernuansa keagamaan. Ramai-ramai merayakan Lebaran Idul Fitri bisa juga tergolong festival. Pada setiap festival, ada pola yang ajeg, yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen-momen tertentu, beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.”

Artikel ini pernah dimuat secara lengkap di VOI.ID dengan judul: Romantisme hingga Pengakuan Sosial dalam Sejarah Panjang Tradisi Mudik.

Selain Sejarah Tradisi Mudik di Indonesia, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!