Ki Hajar Dewantara Memandang Musik dan Nasionalisme dalam Sumpah Pemuda
Ki Hajar Dewantara (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

MEDAN - Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) tidak hanya 'Bapak Pendidikan Nasional', namun ia juga dikenal aktif memberikan kritik-kritik tajam kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Diketahui melalui salah satu kritiknya lewat tulisan "Als ik een Nederlander was" atau “Seandainya Aku Seorang Belanda”, Ki Hajar Dewantara kemudian diasingkan ke Negeri Kincir Angin.

Perjuangan Ki Hajar Dewantara melalui Musik

Di Belanda, Ki Hajar yang radikal mulai mengubah arah gerakannya. Ia memilih berjuang lewat aspek pendidikan dan kebudayaan, terutama musik. Apalagi musik adalah cerminan kemajuan kaum bumiputra sejak dulu kala.

Selepas itu, Soewardi mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 1922. Pun Pangeran Jawa Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian bersalin nama menjadi Ki Hajar Dewantara (guru perantara dewa) sebagai bentuk melepas kebangsawanannya pada 1927. Salah satu yang ditanamkannya di Taman Siswa adalah musik adalah alat untuk melawan, untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

“Pada kurun itu, masyarakat kolonial dan Eropa menganggap musik dari bangsa terjajah sebagai kebudayaan rendah alias ‘tak beradab’. Ki Hadjar merasa perlu memberi perlawanan dalam konteks ini. Apabila musik klasik Barat dipandang sebagai musik mutakhir-tercanggih, maka ia mencoba mengadopsi konsep-konsep di baliknya untuk diaplikasikan pada musik Jawa, gamelan,” tulis Etnomusikolog Aris Setiawan dalam tulisannya di Harian Kedaulatan Rakyat berjudul Ki Hadjar dan Nasionalisme Musik (2018).

Semakin hari, Ki Hajar Dewantara makin intens mengungkap nilai-nilai filosopis dalam musik tradisi gamelan. Ia memandang gamelan sebagai cerminan dari jati diri masyarakat yang halus budi pekertinya. Sebagai bentuk gerakan, ia lalu mengubah format tampilan gamelan menjadi lebih modern, eksklusif, dan parlente. Para pemain gamelan mulai menggunakan jas, dasi, sepatu, layaknya pemain musik Barat. Lewat musik tradisi, Ki Hajar Dewantara hendak berbicara tentang kesetaraan.

Di tangannya, musik tak lagi dimaknai sebagai bunyi. Namun sebagai bentuk perlawanan dan kritik. Musik menjelma menjadi ruang-ruang yang mengguratkan nilai-nilai kemanusiaan hingga kemerdekaan. Ia kemudian menggunakan musik sebagai alat perlawanan yang akan meruntuhkan hagemoni kultural Eropa lewat penjajahan Belanda di Nusantara. Alhasil, kaum bumiputra menjadi sadar tiada yang berbeda antara mereka dan orang Eropa. Semuanya setara.

“Dengan berbuat demikian, Ki Hajar Dewantara, mengubah musik menjadi –mempergunakan istilah Wallerstein—suatu medan tempur ideologis, memperlakukan musik sebagai narasi politis melawan kuasa kolonial. Berkat itu pula, ia dapat berbicara kepada orang Eropa selaku subjek yang mengendalikan narasinya sendiri, tidak sekedar sebagai objek dari orientalisme Eropa. Hanya di dalam sikap batin inilah orang Eropa akan dapat memberikan perhatian kepada, dan menjadi sadar tentang, permasalahan kolonialisme Belanda,” pungkas R. Franki S. NotoSudirdjo dalam buku Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda (2016).

Contoh yang paling nyata dari pandangan Ki Hajar Dewantara tak hanya pada koridor musik tradisi Gamelan. Tapi merasuk dalam musik-musik lainnya. Peletakan fondasi nasionalisme lewat Sumpah Pemuda pada 1928, misalnya.

Dalam momen bersejarah itu, tak cuma ikrar satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, yaitu Indonesia. Lagu ciptaan Wage Rudolf Soepratman, Indonesia Raya jadi alat untuk memerdekaan bangsa.

“Diperkuat oleh Indonesia Raya, lagu kebangsaan yang disusun dalam idiom musikal barat oleh Wage Rudolf Soepratman, deklarasi ini menjadi praktik aspirasi dan simbol persatuan yang sangat kuat. keberhasilan Sumpah Pemuda dan Indonesia Raya menunjukkan kepada kita bahwa nasionalisme berasal dari kombinasi legitimasi politik dan kekuatan emosional.”

“Dengan demikian, musik, dan lebih luas lagi seni pertunjukan sangat berperan penting dalam menyebarkan identitas nasional. Seringkali, seni pertunjukkan berfungsi sebagai sarana yang penting untuk membangkitkan rasa persatuan,” tutup tokoh penting yang melanggengkan sejarah Gamelan, Sumarsam dalam buku Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018).

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Sejarah Musik Nusantara dan Jalan Merdeka Ki Hajar Dewantara

Selain Ki Hajar Dewantara, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!