MEDAN - Pembuat mural dan graffiti yang berisi kritik terhadap pemerintah terancam kriminalisasi oleh aparat.
Adapun mural yang dihapus bergambar diduga mirip Presiden Joko Widodo yang bertuliskan ‘404: Not Found’ di Tangerang, "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Pasuruan dan 'wabah sesungguhnya adalah kelaparan' mendapat sorotan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
BACA JUGA:
Penghapusan mural bukti nyata kemunduran demokrasi
Teo Reffelsen, salah satu pengacara publik LBH Jakarta menilai tindakan penghapusan mural dan graffiti tersebut merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi. Bahkan, pemerintah dicap semakin anti terhadap kritik masyarakat.
"Mural dan grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan lewat seni," katanya saat dikonfirmasi VOI, Rabu 18 Agustus, malam.
Menurut Teo, hal ini dijamin serta dilindungi Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil yang telah diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sehingga tidak dapat dibatasi dan dihapus secara serampangan.
"Penghapusan dan ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat pembuat mural dan graffiti adalah tindakan represi. Dan pembungkaman terhadap ekspresi dan aspirasi masyarakat," katanya.
Melihat fenomena itu, ruang ekspresi masyarakat di ruang publik semakin menyempit. Bahkan, sambung Teo, mural dan grafiti saja dihapus dan ancaman kriminalisasi oleh aparat terhadap seniman pembuatnya juga didepan mata.
Teo mengatakan, sekelumit peraturan telah menyekat ekspresi keluhan masyarakat di masa PPKM. Masyarakat juga dilarang melakukan demonstrasi dengan alasan pandemi COVID-19, kemudian ekspresi dan pendapat di media sosial juga dihantui oleh laporan polisi dengan menggunakan UU ITE serta pasal karet lainnya.
LBH Jakarta menilai kepolisian tidak dapat melakukan proses hukum terhadap orang-orang yang membuat mural dan grafiti tersebut dengan alasan Presiden merupakan Pemimpin dan Lambang Negara.
Dikarenakan, kata Teo, pesan yang disampaikan warga masyarakat melalui mural seperti sosok mirip presiden atau graffiti bernada kritik terhadap negara merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi kritis warga terhadap pemangku jabatan Presiden.
"Mural dan grafiti tersebut merupakan bentuk pendapat warga terhadap kinerja Presiden dan pemerintahannya," katanya.
Teo melanjutkan, Presiden bukan merupakan Lambang Negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36A UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan.
"Jika ada yang keberatan dan dinilai terdapat dugaan pelanggaran, sifatnya adalah keperdataan atau pelanggaran administratif bukan pendekatan penegakan Hukum Pidana," ucapnya.
Menyoroti polemik ruang berekspresi ini, LBH Jakarta mendesak Presiden Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat.
Kemudian Kapolri untuk menghormati kemerdekaan berekspresi masyarakat dan menghentikan segala bentuk represi terhadap ruang kemerdekaan berpendapat.
"Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia memerintahkan Kepala Daerah agar memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk menghormati hak kemerdekaan berekspresi dan berpendapat masyarakat. Hentikan tindakan represif pelarangan dan penghapusan mural atau graffiti berisi kritik sosial," ujarnya
Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Mural dan Grafiti ‘404: Not Found’, LBH Jakarta: Hormati Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Selain Mural dan Grafiti ‘404: Not Found’, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!