MEDAN - Aksi warga Madura yang berdemo di Balai Kota Surabaya menjadi sorotan luas lantaran adanya potensi penularan COVID-19. Di waktu yang sama, pecah opini terjadi. Beberapa narasi yang menguat menyudutkan aksi massa itu dengan cap 'kebodohan'.
Sebenarnya jika mendalami persoalan, aksi massa warga Madura tersebut tidak bukan cuma soal percaya atau tak percaya COVID-19 tapi tentang skeptisme pada kebijakan pandemi.
BACA JUGA:
Bukan Soal Warga Madura Percara atau Tidak pada COVID-19
Kita dalami tuntutan demonstran. Ada tiga. Pertama agar pemerintah Kota Surabaya menghentikan penyekatan diskriminatif di jalur lintas Jembatan Suramadu.
Dalam kebijakannya, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi meminta pemerintah Kabupaten Bangkalan menghentikan pergerakan warga Madura masuk Surabaya tanpa swab tes.
”Sejak 6 Juni masyarakat Madura dipasung oleh kebijakan penyekatan dan swab antigen di Suramadu setiap hari. Pemerintah Kota Surabaya minta kepada Bupati Bangkalan agar tidak membiarkan atau melarang warga masuk ke Surabaya tanpa swab."
"Ini saya baca dari salah satu media. Eri Cahyadi hanya ingin melindungi warga Surabaya tanpa melihat dampak yang dirasakan warga Madura, utamanya sektor ekonomi,” ungkap Ahmad Annur dari Koalisi Masyarakat Madura Barsatu di lokasi aksi.
Tuntutan kedua, demonstran mendorong agar pemberlakuan swab test digeser ke tempat-tempat hiburan dan sumber kerumunan lain di Surabaya. Ketiga mereka menuntut Eri Cahyadi meminta maaf kepada warga Madura.
Sebelum menggeruduk Balai Kota Surabaya, massa juga merusak posko penyekatan Suramadu. Perusakan Posko Suramadu terjadi pada Jumat, 18 Juni dini hari. "Mereka rata-rata tergesa-gesa mau bekerja dan berangkat sebelum shubuh."
"Lalu di sini ada penumpukan sehingga harus menunggu. Nah, saat itu ada yang tidak sabar dan ingin cepat-cepat sampai yang lain terpengaruh," ujar Wakil Sekretaris Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya, Irvan Widyanto, 18 Juni.
Sebelumnya, beberapa video perusakan posko penyekatan Suramadu sisi Surabaya viral di sejumlah media sosial. Dalam video tersebut, meja dan kursi sudah berserakan dan sejumlah dokumen berhamburan.
Beberapa petugas dan tenaga kesehatan tak kuasa membendung warga. Mereka menyelamatkan diri. Sejumlah aparat TNI-Polri tampak mencoba menenangkan warga di lokasi. Tak lama, keadaan kemudian terkendali.
Pentingnya kritik terarah
Selasa, 22 Juni, kata "Herd Stupidity" dan "Madura" sempat jadi trending topic di Twitter. Bahasan itu didominasi kritik terhadap aksi demonstrasi massa di Balai Kota Surabaya. Warganet juga melihat aksi itu sebagai penyangkalan masyarakat Madura terhadap COVID-19.
"Herd Stupidity" adalah istilah yang pertama kali diucap oleh epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono. Di akun Twitternya, Pandu mengkritisi perilaku masyarakat luas yang mengabaikan upaya-upaya pengendalian pandemi, khususnya pada aktivitas mudik Lebaran 2021.
Kata-kata Pandu itu yang kemudian dikaitkan dan diangkat dalam banyak narasi menyoal demonstrasi masyarakat Madura. Amat relevan memang dalam banyak hal. Namun belum tentu tepat jika warganet mengaitkannya dalam konteks demonstrasi Madura.
Masyarakat saling menyalahkan. Di sisi lain pemerintah terus mengulang kesalahan yang sama: inkonsisten dan menyimpang dari konsep pengendalian pandemi berbasis sains. Dalam hal ini kritik yang terarah jadi penting. Kenapa harus selalu pemerintah yang dikritik?
Iya, pengendalian pandemi adalah tanggung jawab semua orang. Tapi pemerintah lah yang memiliki segala instrumen dan sumber daya dalam upaya-upaya pengendalian pandemi. "Pemerintah. Yang punya otoritas itu pemerintah," ungkap epidemiolog Griffith Univesity, Australia, Dicky Budiman kepada VOI, Selasa, 22 Juni.
Artikel ini pernah tayang lengkap di VOI.ID dengan judul: Demo Madura: Tak Percaya COVID atau Skeptisme Kebijakan Pandemi? Salah Satunya Logis
Selain Demo Warga Madura, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!