Perbedaan Taliban dan ISIS, Meski Berhaluan Sama tapi Saling Perang
Milisi Taliban (Wikimedia Commons/VOA)

Bagikan:

MEDAN - Menurut Aly Ashghor dalam jurnalnya yang bertajuk "Taliban di Afghanistan: Tinjauan Ideologi, Gerakan dan Aliansinya dengan ISIS" menjelaskan, Taliban dan ISIS memang memiliki pandangan ideologi yang sama, sehingga ISIS mencoba membangun teritorial baru di Afghanistan sebagai basis kekuatan pasca-hancurnya ISIS di Suriah.

Sementara di bumi Afghanistan sendiri, globalisasi doktrin jihad berbasis kekerasan dan teror di akhir abad ke-20 tumbuh dan berkembang di bawah perlindungan Taliban.

Salah satu faktor penting bagi proses akselerasi konsolidasi politik gerakan Taliban di Afghanistan adalah adanya perselisihan antar faksi mujahidin pasca-penarikan Uni Soviet sehingga transisi rezim komunis ke rezim mujadihidin tidak berjalan mulus.

Pasalnya, beberapa faksi mujahidin Afghanistan tidak berhasil menemukan titik temu dalam merumuskan platform bersama membangun Afghanistan pasca penarikan Soviet.

Akibatnya, sejak 1988 pasca-Perjanjian Jenewa yang mengakhiri perang mujahidin Afghanistan dan Soviet, Mohammad Najibullah, pemimpin rezim mujahidin masih menjabat sebagai Presiden dengan sedikit bantuan Soviet.

Pada periode transisi kekuasaan pasca-penarikan Uni Soviet dari Afghanistan yang melahirkan ketidakpastian masa depan pembangunan Afghanistan melahirkan kekuatan baru berbasis di Provinsi Kandahar yang dikenal dengan nama Taliban yang dipimpin oleh Mullah Umar.

Sejak Tahun 1996 Afghanistan di bawah kendali rezim Taliban

Sejak Afghanistan berada di bawah kendali rezim Taliban pada tahun 1996, Mullah Umar sebagai pimpinan Taliban menjanjikan doktrin Islam di tengah-tengah masyarakat yang lebih ketat dan puritan.

Ditengah ketidakpastian masa depan Afghanistan pada periode transisi pemerintahan yang berdarah-darah setelah berakhirnya perang Soviet, rezim Taliban membangun sistem pemerintahan berbasis Islam secara tradisional dan puritan yang berpaham Sunni Deobandi yang memiliki garis geneologi sekte Wahabi.

Sejak saat itu, Taliban telah mempromosikan agenda penerapan hukum syariat Islam secara ketat yang tidak mengenal kompromi terhadap perubahan zaman. Atas dasar itu, gerakan Taliban membentuk identitas bangsa Afghanistan melalui revolusi secara politik, sosial, dan budaya berbasis Islam konservatif.

Revolusi ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemuda atau pelajar Madrasah di wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan yang mewarisi tradisi pemikiran ideologi sekte Wahabi melalui sekte Sunni Deobandi. Oleh karena itu, tidak heran Afghanistan menjadi bumi tempat para mujahidin berlindung dari berbagai negara

Bahkan, atas dasar kesamaan ideologi dan pemikiran keagamaan, Taliban menjadi pelindung bagi Osama bin Laden. Termasuk deklarasi dan perencanaan aksi teror al-Qaeda diselengarakan dan direncanakan di Afghanistan. Hubungan kedekatan antara Taliban dan al-Qaeda berlangsung sejak tahun 1998 sampai 2001.

ISIS Memanfaatkan keadaan

Pada 2019 ISIS kehilangan hampir 99 persen wilayah di Suriah-Irak akibat digempur pasukan koalisi AS. Namun demikian, kehilangan kontrol teritorial pada banyak daerah di Suriah dan Irak tidak menjadi akhir dari perjuangan ISIS.

Para simpatisan dan pendukung ISIS masih berusaha untuk memperjuangkan dan mempertahankan Ke-Khalifahan Islam atau Daulah Islam dengan membangun teritorial baru di luar Irak-Suriah.

Salah satu wilayah yang saat ini menjadi arena teritorial baru perjuangan bagi para pendukung dan simpatisan ideologi ISIS adalah cabang ISIS Khurasan, Afghanistan, yang sudah ada sejak tahun 2015.

Kelompok ISIS di Khurasan, Afghanistan, sejak tahun 2019 mulai membangun aliansi baru dengan Taliban dengan tujuan menjadikan Afghanistan sebagai poros utama wilayah kekuasaan dan kekuatan ISIS.

Upaya ini menemukan momentumnya ketika pasukan koalisi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat berangsur-angsur mulai ditarik dari bumi Afghanistan di masa Presiden AS, Joe Biden. Penarikan pasukan ini sebagai tindak lanjut dari perjanjian damai antara Taliban dan AS yang ditandatangani di Qatar pada 29 Februari 2020.

Namun demikian, dalam perkembangan, tidak semua tokoh elit di lingkaran Taliban menyetujui perjanjian damai Taliban-AS yang disepakati di Qatar. Situasi terpecahnya angota Taliban dalam menyikapi perjanjian damai dimanfatkan oleh ISIS untuk merekrut anggota Taliban yang tidak puas dengan perjanjian damai dengan Amerika Serikat.

Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Strategis Afghanistan, yang mengatakan bahwa lima dari 20 persen milisi Taliban kemungkinan akan bergabung dengan ISIS. Bahkan, para pejabat AS dan pakar militer memperkirakan anggota ISIS ditaksir sebanyak 2.500 di Afghanistan, tetapi jumlah itu dapat meningkat jika milisi Pakistan bergabung dengan mereka.

Artikel ini pernah tayang di VOI.ID dengan judul: Rivalitas Taliban dan ISIS: Mengapa Kelompok yang Berhaluan Sama Ini Saling Berperang?

Selain Perbedaan Taliban dan ISIS, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan